Web Toolbar by Wibiya

Mengasuh dan Mengajarkan Anak dengan Positive Parenting

Semua orang tua pasti ingin anak-anaknya tumbuh dengan baik. Cakap, pintar, cerdas, percaya diri, mudah bergaul, kreatif dan segudang nilai-nilai positif lainnya. Tetapi, mewujudkan keinginan mulia seperti poin-poin tersebut gampang-gampang susah. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang gagal mengawal masa keemasan buah hatinya, sehingga pertumbuhan mereka kurang baik. Tidak percaya diri, sulit bergaul, malah cenderung bersifat destruktif.

Kunci pentingnya memang terletak pada keluarga. Paling tidak, begitulah menurut Dornan dan Maxwell. Menurutnya kebiasaan berpikir positif, lingkungan positif, afirmasi positif merupakan faktor penting dalam membangun sikap positif (Dornan dan Maxwell, 1996, Strategi Menuju Sukses. Georgia: Network Twenty One, 1998).

Pakar lain, Berk (1993: 25-28) menyatakan bahwa individu berkembang dan dibentuk lingkungan, diawali pemikiran dan kerja dengan diri sendiri (microsystem), selanjutnya lingkungan keluarga, teman sepermainan, tetangga dekat (mesosystem). Berikutnya lagi meluas ke keluarga besarnya, tetangga jauh (exosystem). Dan yang terakhir adalah nilai, hukum, kebiasaan (macrosystem).

Sekali lagi, kuncinya terletak pada keluarga. Keluarga bisa menjadi penentu paling besar bagi munculnya nilai-nilai positif pada anak. Nilai-nilai yang mereka anut memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, berkenaan dengan tabiat dan budi pekerti. Ini juga yang menentukan bagaimana bentuk kontribusi seseorang terhadap dirinya, keluarganya, lingkungannya, terhadap bangsa bahkan dunia . Bila seseorang berwatak positif, maka energi positif pulalah yang disalurkan ke lingkungan sekitarnya, demikian pula sebaliknya. Karena itu, di kalangan pakar, pemikir maupun konsultan tentang keluarga, dikenal istilah Positive Parenting. Secara harfiah, istilah tersebut bermakna: menjalankan tugas kita sebagai orang tua, baik mengasuh, membesarkan maupun mendidik anak-anak secara positif.

Kini, sudah banyak sekali penulis yang mengkonsentrasikan diri pada tema-tema keluarga. Di Indonesia, penulis yang cukup produktif mengulas masalah-masalah seputar anak dan keluarga adalah Mohammad Fauzil Adhim, sarjana psikologi lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang sejak muda memang aktif menyebarkan ide-ide dan buah pemikirannya. Selain buku berjudul “Positive Parenting”, ia juga telah menulis buku-buku laris lainnya dengan seperti “Membuat Anak Gila Membaca” (penerbit Al-Bayan, 2004). Saat menyelesaikan buku Positive Parenting ia sudah dikaruniai empat orang anak, dan dia mempunyai obsesi yang besar: ia ingin anak-anaknya menjadi generasi pilihan yang cemerlang hidupnya, tajam pikirannya, jernih hatinya, kukuh jiwanya, dan kuat imannya. Cara mencapai obsesi itulahyang banyak ia paparkan di bukunya yang berjudul Positive Parenting.

Positive Parenting
Fauzil Adhim memaknai positive parenting sebagai upaya menjalankan tugas ke-orangtua-an (parenting), yakni mengasuh, membesarkan, dan mendidik mereka agar bukan saja tidak mematikan segala kebaikan mereka. Lebih dari itu, kita malah harus bisa merangsang inisiatif-inisiatif mereka, mendorong semangat mereka, menunjukkan penerimaan yang tulus dan memberi perhatian yang hangat atas setiap kebaikan yang mereka lakukan. Kita perlu mengembangkan inisiatif positif dan melakukan pendekatan yang positif.

Enam Poin Penting
Secara sederhana, positive parenting menurut Fauzil Adhim meliputi beberapa bagian. Pertama, konsep dasar yang melandasi. Kedua, sikap dasar yang perlu kita miliki dalam menerapkan positive parenting. Ketiga, prinsip-prinsip penting menjadi orang tua yang positif. Dan yang keempat, strategi mengasuh anak secara positif agar membangkitkan potensi-potensi positif mereka; kecerdasan intelektual mereka, emosi mereka dan juga dorongan moralistik-idealistik mereka yang bersumber pada bercahayanya kekuatan ruhiyah mereka.

Ulasannya sangat sederhana dan mudah dipahami. Sebagai penulis, ia banyak menyelipkan hasil pengamatannya terhadap lingkungan, maupun proses dan dampak yang terjadi pada anak-anaknya sendiri. Berikut ini beberapa poin-poin menarik positive parenting yang dapat menjadi pertimbangan kita:

1. Persepsi orang tua terhadap anak. Yang paling awal musti diluruskan tiap orang tua adalah persepsi mereka tentang anak-anak mereka. Bahwa anak-anak kita akan hidup pada masa yang akan datang. Merekalah generasi penerus, sehingga perlu bekal yang kuat, modal yang banyak, bimbingan yang tepat agar mereka bisa menjadi pribadi-pribadi yang berguna bagi lingkungan, masyarakat, negara, bahkan dunianya. Secara khusus, orientasi masa depan yang disampaikan Fauzil Adhim, tidak hanya sampai urusan dunia saja. Melainkan juga sampai ke urusan akhirat. Maksudnya, orang tua juga harus memikirkan dan membimbing pemenuhan kebutuhan religi anak-anak mereka.

2. Bangkitkan semangat. Setiap orang tua harus selalu menjaga agar anak-anak mereka tidak menjadi anak yang pesimis. Caranya, bangkitkanlah semangat mereka setiap saat. Dengan kata lain, orang tua tidak boleh hanya menjamin tersedianya asupan untuk fisiknya seperti makanan, buah-buahan, serta minuman bergizi. Yang harus orang tua berikan juga adalah asupan bagi jiwanya. Berikan mereka inspirasi-inspirasi melalui cerita-cerita berbobot, yang mengisi kehausan jiwa mereka succes story tokoh-tokoh yang penuh semangat, misalnya.

3. Biasakan membaca. Jika perlu, tumbuhkan kebutuhan terhadap bacaan seolah-olah mereka memandang buku layaknya sebuah makanan lezat. Dengan begitu, mereka akan sering menyerap pengetahuan yang terkandung dalam bahan-bahan bacaan tersebut. Anak-anak yang sedari kecil terbiasa membaca akan menyerap, menyaring, mengolah, dan memaknai informasi. Semakin sering mereka membaca buku-buku yang bergizi, teratur, dan baik penuturannya, kemampuan berfikir mereka akan lebih matang dan tertata. Mereka memiliki kerangka berpikir yang kukuh dan rapi. Dasar-dasar kecakapan dan kematangan emosi dipelajari oleh anak melalui buku-buku yang mereka cerna. Sehingga ketika anak menghadapi tantangan, ia mampu mengelola emosinya dengan menggunakan bahan-bahan yang telah tersedia di otaknya. Mengutip pendapat Paul C. Burns, Betty D. Roe & Elinor P Ross dalam buku Teaching Reading in Today’s Elementary Schools. Ada delapan aspek yang bekerja saat kita membaca, yaitu sensori, persepsi, sekuensial (tata urutan kerja), pengalaman berpikir, belajar, asosiasi, dan afeksi. Semuanya berjalan berbarengan saat kita membaca.

4. Waktu yang berkualitas bersama anak-anak. Sesibuk apapun kita sebagai orang tua, anak-anak memiliki hak untuk mendapat perhatian. Alokasikan waktu-waktu kita agar tetap bisa bersama anak-anak. Dari kedekatan itu seorang anak dapat merasakan kehangatan, perhatian dan kasih sayang dari orang tua mereka.

5. Hati-hati terhadap televisi. Banyak pengamat yang memandang negatif program-program televisi. Karena itu, jangan bebaskan anak-anak sesuka hati di depan televisi. Bantulah memilihkan program-program yang baik. Sesekali, pantaulah muatan acara yang ditayangkan televisi, jangan ragu untuk melarang anak-anak jika muatannya terlalu dewasa, kasar, mengajarkan kemalasan dan nilai-nilai negatif lainnya.

6. Gunakan kalimat-kalimat positif. Usahakan mencari kata-kata yang bernuansa positif, ketimbang negatif. Selain anak-anak menjadi terbiasa memandang sesuatu dari sisi positif, kalimat-kalimat positif juga terbukti lebih membangkitkan semangat, mengandung optimisme dan percaya diri.
Read More...

50 Tahun Mendatang Anak Kita

-M. Fauzil Adhim

Mungkin kita sudah mati dan jasad kita dikubur entah dimana, atau sedang tua renta sehingga harus berpegangan tongkat untuk berjalan; atau sedang menjemput syahid di jalan Allah di hari yang sama dengan jam saat kita berbincang di tempat ini; atau kita sedang menunggu kematian datang dengan kebaikan yang besar dan bukan keburukan. Allahumma Amin……….

50 Tahun Yang Akan Datang…

Anak-anak kita mungkin sudah tersebar di seluruh dunia. Saat itu, mungkin ada yang sedang menggugah inspirasi umat Islam seluruh dunia, berbicara dari Mesir hingga Amerika, dari Makkah Al Mukarramah hingga Barcelona. Ia menggerakan hati dan melakukan proyek-proyek kebaikan, sehingga kota-kota yang pada zaman keemasan Islam yang terang benderang oleh cahaya-Nya, dari Gibraltar hingga Madrid, dari Istambul hingga Shenzhen, kembali dipenuhi gemuruh takbir saat pengujung malam datang. Sementara siangnya mereka seperti singa kelaparan yang bekerja keras menggenggam dunia. Mereka membasahi tubuhnya dengan keringat karena kerasnya mereka bekerja meski segala fasilitas telah mereka dapat, sementara di malam hari mereka membasahi wajah dan hatinya dengan air mata karena besarnya rasa takut kepada Allah Ta`ala. Rasa takut yang bersumber dari cinta dan taat kepada-Nya.

Ya, mereka bekerja keras meski harta sudah di tangan. Mereka gigih merebut dunia bukan karena gila harta dan takut mati (hubbud-dunya wa karahiyatul-maut), melainkan karena mereka ingin menjadikan setiap detik kehidupannya untuk menolong agama Allah `Azza wa Jalla dengan mengambil fardhu kifayah yang belum banyak tertangani. Mereka gigih bekerja karena mengharap setiap tetes keringatnya dapat menjadi pembuka jalan ke surga.

Kelak (izinkan saya bermimpi) anak-anak kita bertebaran di muka bumi. Mereka berjalan di muka bumi meninggikan kalimat Allah, menyeru kebenaran dengan cara yang baik (amar ma`ruf), saling mengingatkan untuk menjauh dari kemungkaran dan mengingat Allah ta`ala dengan benar. Tangan mereka mengendalikan kehidupan, tetapi hati mereka merindukan kematian. Bukan karena jenuh menghadapi hidup dan berputus asa terhadap dunia, melainkan karena kuatnya keinginan untuk pulang ke kampung akhirat dan mengharap pertemuan dengan Allah dan Rasul-Nya.

Mereka inilah anak-anak yang hidup jiwanya. Bukan cuma sekedar cerdas otaknya. Mereka inilah anak-anak yang kuat imannya, kuat ibadahnya, kuat ilmunya, kuat himmahnya, kuat ikhtiarnya, kuat pula sujudnya. Dan itu semua tak akan pernah terwujud jika kita tidak mempersiapkannya hari ini!

50 Tahun Yang Akan Datang…

Di negeri ini…, kita mungkin menemui pusara bapak-bapak yang hari ini sedang mewarnai anak-anak kita. Mereka terbujur tanpa nisan tanpa prasasti, sementara hidangan di surga telah menanti. Atau sebaliknya, beribu-ribu monumen berdiri untk mengenangnya, sementara tak ada lagi kebaikan yang diharapkan. Mereka menjadi berhala yang dikenang dengan perayaan, tetapi tak ada doa yang membasahi lisan anak-anaknya. Na`udzubillahi min dzalik.

Betapa banyak pelajaran yang betabur di sekeliling kita; dari orang yang masih hidup atau mereka yang sudah tiada. Tetapi betapa sedikit yang kita renungkan. Kisah tentang K.H Ahmad Dahlan yang mengulang-ulang pembahasan tentang al-ma`un hingga menimbulkan pertanyaan dari murid-muridnya, masih kerap kita dengar. Jejak-jejak kebaikan berupa rumah sakit, panti asuhan, dan sekolah-sekolah juga masih bertebaran. Tetapi, jejak-jejak ruhiyah dan idealisme yang membuat K.H Ahmad Dahlan bergerak menata akidah umat ini, rasanya semakin lama semakin sulit kita lacak.

Tulisan Hadtratusy-Syaikh Hasyim Asy`ari, sahabat dekat K.H Ahmad Dahlan, yang mendirikan Nahdlatul Ulama, masih bisa kita lacak, meski semakin langka. Tetapi, jejak-jejak ruhiyah dan idealisme sulit kita temukan. Apa yang dulu diyakini haram oleh Hadratusy-syaikh, hari ini justru dianggap wajib oleh mereka yang merasa sebagai pengikutnya.

Apa artinya? iman kita wariskan, kecuali hari ini kita didik mereka dengan sungguh-sungguh untuk mencintai Tuhannnya. Keyakinan, cara pandang, idealisme juga tidak bisa diwariskan ke dada mereka kalau hari ini kita hanya sibuk memikirkan dunianya. Bukan akhiratnya. Atau kita persiapakan mereka menuju akhirat, tetapi kita hanya bekali mereka dengan kekuatan, keterampilan, dan ilmu untuk memenangi hidup di dunia dan menggenggam dengan tangan mereka. Betapa banyak anak-anak yang dulu rajin puasa Senin-Kamis, tetapi ketika harus bertarung welawan kesulitan hidup, imannya yang berubah Senin-Kamis. Kadang ada, kadang nyaris tak tersisa. Na`udzubillah min dzalik.

Teringatlah saya dengan perkataan Nabi Ya`qub saat menghadapi sakaratul maut. Allah Ta`ala mengabadikannya dalam Surat Al Baqarah ayat 133:

Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata pada anak-anaknya: ”Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”, Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma`il, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya“ (QS. Al –Baqarah: 133).

Ya, inilah pertanyaan Nabi Ya`qub `Alaihi-salam, Maa ta`buduuna min ba`di? Apakah yang akan kalian sembah sepeninggalku? Bukan, “Maa ta`kuluuna min ba`di? apa yang kalian makan sesudah aku tiada?”

Lalu, seberapa gelisah kita hari ini? Apakah kita sibuk memperbanyak tabungan agar kelak mereka tidak kebingungan cari makan sesudah kita tiada? apakah kita bekali mereka dengan tujuan hidup, visi besar, semangat yang menyala-nyala, budaya belajar yang tinggi, iman yang kuat dan kesediaan berbagi karena Allah. Kita hidupkan jiwanya dengan bacaan yang bergizi, nasihat yang menyejukan hati, dorongan yang melecut semangat, tantangan yang menggugah, dan dukungan pada saat gagal sehingga ia merasa kita perhatikan. Kita nyalakan tujuan hidupnya dengan mengajarkan mereka untuk mengenal Tuhannnya. Dan, kita bangun visi besar mereka dengan menghadirkan kisah orang-orang besar sepanjang sejarah; orang-orang saleh yang telah memberi warna bagi kehidupan ini, sehingga mereka menemukan figur untuk dipelajari, dikagumi, dan dijadikan contoh.

50 tahun mendatang anak kita, hari inilah menentukannya. Semoga warisan terbaik kita untuk mereka adalah pendidikan yang kita berikan dengan berbekal ilmu dan kesungguhan. Kita antarkan pesan-pesan itu dengan cara yang terbaik. Sementara doa-doa yang kita panjatkan dengan tangis dan air mata, semoga mengenapkan yang kurang, meluruskan yang keliru, menyempurnakan yang baik dan diatas semuanya, kepada siapa lagi kita meminta selain kepada-Nya?

Ya Allah…, ampunilah aku yang lebih sering lalai daripada ingat, yang lebih sering zhalim dari pada adil, yang sering bakhil daripada berbagi karena mengaharap ridha-Mu, yang lebih banyak jahil daripada mengilmu setiap tindakan, yang lebih banyak berbuat dosa daripada melakukan kebajikan…

Ya Allah Yang Maha Menggenggam langit dan bumi… Kalau sewaktu-waktu Engkau cabut nyawaku, jadikanlah ia sebagai penutup keburukan dan pembuka kebaikan. Kalau sewaktu-waktu Engkau cabut nyawaku, jadikanlah ia sebagai jalan perjumpaan dengan-Mu dan bukan permulaan musibah yang tak ada ujungnya. Jadikanlah ia sebagai penggenap kebaikan agar anak-anak kami mampu berbuat yang lebih baik untuk agamamu.

Ya Allah, jangan jadikan kami penghalang kebaikan dan kemuliaan anak-anak kami, hanya karena kami tak mengerti mereka. Amin…
Read More...

Belajar Dari Masa Kecil

M. Fauzil Adhim

Malam itu, Fathurrahmi datang. Sahabat saya asal Cadek-Aceh ini bertutur mengenangkan masa-masa kecil ketika meunasah (mushala) menjadi tempat terindah bagi anak laki-laki pada masa itu untuk menghabiskan waktu malam. Bercengkrama bersama-sama sambil meraup ilmu yang seakan selalu mengalir dari para Tengku. Ba`da maghrib adalah waktu-waktu untuk belajar mengakrabi Al-Qur`an dan pengetahuan fiqih dasar.

Saya merasakan ada kesedihan yang mendalam disela-sela ucapannya. Bukan untuk meratapi permukiman yang telah rata dengan bumi karena disapu tsunami. Tetapi, rasa kehilangan yang sangat besar karena tradisi yang sangat baik itu sekarang seakan telah ditelan bumi.

Cerita yang dituturkan oleh Fathur ini mengingatkan pada masa kecil yang indah, ketika hampir semua orang di kampung menjadi penjaga bagi setiap anak. Masjid dan mushala (dikampung saya orang menyebutnya langgar) adalah tempat anak laki-laki yang sudah beranjak besar berkumpul, belajar, dan tidur. Anak-anak yang sudah menjelang `aqil-baligh itu mengisi waktunya dengan menghafal nazham yang berisi petuah-petuah berharga atau rumus-rumus ilmu yang digubah dalam bentuk sya`ir. Matan Alfiyyah yang berisi prinsip-prinsip bahasa Arab, adalah kumpulan syair bersajak. Nazhaman adalah istilah untuk kegiatan melantunkan nazham berharga ini.

Menjelang maghrib, kira-kira satu atau setengah jam sebelum adzan berkumandang, anak-anak biasanya sudah bersiap dengan pakaian bersih, siap untuk berangkat kerumah guru ngaji yang dipilih. Sarung sudah dipakai dengan rapi, dan kopiah hitam dikenakan untuk menandai sudah siap untuk mengaji. Anak-anak itu biasanya sudah mempunyai guru ngaji sendiri-sendiri; di mushala-mushala atau datang kerumah-rumah. Anak-anak yang masih belum berumur tujuh tahun (belum mumayyis) biasanya mendatangi pelajaran mengaji kerumah-rumah. Mereka belajar bersama anak-anak perempuan. Jika anak sudah seminggu belajar mengaji di satu tempat yang dipilih anak, orang tua biasanya mendatangi guru ngaji tersebut dengan kepasrahan yang tulus untuk menitipkan secara resmi agar anaknya dididik dan didoakan disetiap shalatnya.

Para guru ngaji itu ibaratnya orang tua kedua atau bahkan lebih. Nasehat mereka adalah nasehat orang tua. Kalau para guru itu menghukum, orang tua umumnya selalu membenarkan tindakan tersebut. Kalau anak tampak tidak terima dengan tindakan guru terhadapnya, orang tua biasanya menjadi penengah yang memahamkan anak, sehingga tetap muncul kecintaan pada guru. Kisah Nabi Isa ‘alaihis-salam ketika berguru kepada Nabi Khidhir ‘alaihis-salam biasanya membuat anak-anak terhibur dan bersabar, sembari berharap mudah-mudahan ilmu kami manfaat.

Jauh sekali bedanya masa itu. Orang tua tidak perlu gelisah kalau anak laki-lakinya tidak tidur di rumah, karena tempat anak laki-laki yang menjelang `aqil baligh hingga menjelang mereka menikah adalah di masjid atau langgar. Kalaupun mereka tidur di rumah teman, mereka juga tidak khawatir karena yakin orangtua temannya anak akan membangunkan pada waktu subuh dan mengingatkan jika ada akhlak yang tidak baik. Rasanya setiap orang menjadi pendidik bagi setiap anak. Setidaknya mereka turut menjaga anak orang lain.

Saya ingat pada waktu kecil saya biasa datang ke rumah-rumah tetangga untuk melihat televisi saat siaran berita. Saya bawa sebuat blocknote kecil untuk mencatat isi berita, dan segera beranjak pergi sesudah siaran berita selesai. Sekali waktu ketika saya terbawa untuk ikut nonton acara berikutnya yang kebetulan tidak bagus, pemilik televisi kerapkali mengingatkan saya agar bermain di luar. Tidak nonton televisi.

Tetapi, itu semua rasanya mimpi saat ini. Ketika SCTV mulai masuk kekampung kami, para orangtua tidak lagi merasa aman jika anak laki-lakinya yang sudah menjelang usia 2 tahun sekalipun, tidak tidur di rumah. Ibu-ibu yang dulu mengajari kami mengaji, sekarang sudah sibuk dengan televisi. Ibu-ibu yang dulu sabar bercerita tentang Nabi Muhammad Saw, para sahabat hingga teladan dari para kiai,sekarang lebih akrab dengan artis dan televisi. Bapak-bapak yang dulu mengajari kami ta`lim mua`alaim agar ilmu yang kami dapat benar-benar bermanfaat, sekarang sibuk menghafalkan jadwal acara televisi. Dan, Manchester United lebih dekat dengan kehidupan daripada Bidayatul-Mujtahid.

Tradisi Keilmuan yang hilang

Pada masa kecil, sebelum SCTV masuk kampung kami, anak-anak usia 7-8 tahun mulai mengaji fiqih dasar seusai belajar Al-Qur’an. Kami biasanya belajar Safinatun-Najah yang berisi semacam pengantar fiqih tentang berbagai cabang masalah. Kalau anak sudah tamat belajar Safinatun-Najah, akan berlanjut ke kitab fiqih berikutnya yang lebih kompleks. Tetapi, pembahasannya selalu diawali dengan masalah thaharah; masalah kecil yang sangat menentukan. Pada hari-hari tertentu, kitab yang dipelajari beda. Biasanya berkait dengan akidah dan akhlak.

Hari Kamis malam Jumat umumnya merupakan hari libur. Anak-anak yang masih berusia 6-8 tahun atau 9 tahun biasanya libur penuh. Sedangkan anak-anak diatas usia itu, biasanya mempunyai kegiatan. Sebagaian langgar menggunakan waktu libur ini untuk membaca Barzanji berikut aturan-aturannnya yang saya tidak mengerti. Tetapi, sebagian lainya tidak melakukan karena memang tidak menerima tradisi ini.

Kakek saya yang merupakan murid langsung dari Hadratusy-Syaikh Hasyim Asy`ari termasuk yang tidak menerima barzanji. Dia membolehkan membaca barzanji sebagai karya syair, tetapi tidak mengizinkan untuk menjadikannya sebagai acara, sehingga tampak sebagai ritual. Sebagian besar langgar di kampung saya termasuk yang tidak menerima tradisi barzanji maupun pembacaan manaqib Syaikh `Abdul Qadir al-Jailani. Apa lagi kalau disertai ingkung (ayam panggang utuh dapat perlakuan tertentu), keras sekali larangan kakek saya. Langgar di kampung saya, ketika itu, umumnya mengikuti pendapat yang melarang ritual barzanji.

Tetapi, tulisan ini tidak saya maksudkan mendiskusikan boleh tidaknya ritual barzanji. Tulisan ini saya hadirkan untuk belajar mengambil pelajaran dari pengalaman masa kecil. Pertemuan malam itu dengan Fathurrahmi membuat saya tersentak dan menyadari betapa sedikit yang sudah saya berikan kepada anak-anak. Dahulu, anak-anak sudah memahami fiqih dasar, sebelum mereka berusia 10 tahun. Sehingga ketika mereka tidak mengerjakan shalat orang tua memiliki alasan untuk memukul. Meski tidak menyakitkan, tetapi bukankan untuk memukul, orang tua harus mengingat qubhunal - `iqaab bilaa bayaan? adalah buruk menghukum tanpa memberikan penjelasan.

Mengenangkan masa kecil, ada banyak hal yang mengusik jiwa. Ketika tardisi keilmuan melekat kuat dimasyarakat, para ibu tidak perlu kebingungan untuk menjelaskan mengapa tidak shalat. Sebab anak-anak sudah belajar dilanggar-langgar tentang haid, kaifiyah mandi junub, berwudhu, membedakan bersih tak berarti selalu suci, serta bebrbagai perkara penting lainnya. Hari ini, tardisi keilmuan itu telah berganti dengan tradisi nonton TV. Uang yang dulu ditabung sebagai bekal menuntut ilmu , sekarang beralih fungsi. Orang sibuk menabung untuk membeli mimpi – mimpi yang tak terbeli ; mimpi – mimpi yang mereka jejalkan setiap hari kepada diri mereka maupun anak –anak.

Saya pernah merasa sangat terpukul ketika suatu hari ada istri seorang ustadz tergesa-gesa pulang begitu pengajian diakhiri. Bukan mengingat ada tetangga yang kelaparan, tetapi karena tayangan telenovela yang disukai sudah dimulai. Saya ingat sekali yang diburu oleh ibu kita ini: Casandra. Saya tidak tahu, sekarang masih ada atau tidak tayangan tersebut. Saya berharap sudah tidak ada lagi. Tetapi kalaupun sudah tidak ada, apakah acara-acara di televisi sekarang sudah lebih baik?

Mengenangkan masa kecil, banyak pelajaran yang menggugah saya untuk merenungkan sejenak. Inilah masa ketika orang bersungguh-sungguh untuk mencari ilmu, sekurangnya yang menjadi bekal dasar kehidupan mereka. Ulama adalah orang yang sering menangis; menangisi dirinya sendiri karena tak mampu mengingatkan orang lain, menangisi kekurangan dalam berbuat baik dan menangisi manusia yang belum menyambut hidayah. Mereka dipanggil kyai karena masyarakat memberikan panggilan itu. Bukan karena mereka memberi julukan untuk mereka sendiri seraya membuat kartu nama indah yang bertuliskan Kyai Haji. Mereka segera menarik tangannya begitu ada yang bergerak menciumnya. Bukan memerah mukanya karena santri tak menggamit tangannya untuk dicium.

Pada masa itu, saya mendapati NU dan Muhammadiyah belajar dari sumber yang sama. Di kampung saya, kebetulan NU dan Muhammadiyah perintisnya adalah keluarga. Hari ini, ketika tradisi keilmuan itu berganti dengan tradisi nonton televisi, Muhammadiyah kehilangan ulama. Sementara Ulama NU banyak yang kehilangan integritas. Hari ini, saya mendapati orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan sebagai ulama, telah menisbatkan diri sebagai ulama. Pada saat yang sama, anak-anak kita semakin jauh dari agama. Masa-masa emas mereka belajar agama terlewatkan begitu saja secara teratur.

"Moh Fauzil Adhim, Mizania 2006"
Read More...

Mengenalkan Allah kepada Anak

M. Fauzil Adhim

Rasulullah saw. pernah mengingatkan, untuk mengawali bayi-bayi kita dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.” Kalimat suci inilah yang kelak akan membekas pada otak dan hati mereka

pas-foto-fauzilKalau anak-anak itu kelak tak menjadikan Tuhannya sebagai tempat meminta dan memohon pertolongan, barangkali kitalah penyebab utamanya. Kitalah yang menjadikan hati anak-anak itu tak dekat dengan Tuhannya. Bukan karena kita tak pernah mengenalkan –meskipun barangkali ada yang demikian—tetapi karena keliru dalam memperkenalkan Tuhan kepada anak. Kerapkali, anak-anak lebih sering mendengar asma Allah dalam suasana menakutkan.

Mereka mengenal Allah dengan sifat-sifat jalaliyah-Nya, sementara sifat jamaliyah-Nya hampir-hampir tak mereka ketahui kecuali namanya saja. Mereka mendengar asma Allah ketika orangtua hendak menghukumnya. Sedangkan saat gembira, yang mereka ketahui adalah boneka barbie. Maka tak salah kalau kemudian mereka menyebut nama Allah hanya di saat terjadi musibah yang mengguncang atau saat kematian datang menghampiri orang-orang tersayang.

Astaghfirullahal ‘adziim…

Anak-anak kita sering mendengar nama Allah ketika mereka sedang melakukan kesalahan, atau saat kita membelalakkan mata untuk mengeluarkan ancaman. Ketika mereka berbuat “keliru” –meski terkadang kekeliruan itu sebenarnya ada pada kita—asma Allah terdengar keras di telinga mereka oleh teriakan kita, “Ayo…. Nggak boleh! Dosa!!! Allah nggak suka sama orang yang sering berbuat dosa.”

Atau, saat mereka tak sanggup menghabiskan nasi yang memang terlalu banyak untuk ukuran mereka, kita berteriak, “E… nggak boleh begitu. Harus dihabiskan. Kalau nggak dihabiskan, namanya muba…? Muba…? Mubazir!!! Mubazir itu temannya setan. Nanti Allah murka, lho.”

Setiap saat nama Allah yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif; suasana yang membuat manusia justru cenderung ingin lari. Padahal kita diperintahkan untuk mendakwahkan agama ini, termasuk kepada anak kita, dengan cara “mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka lari”. Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika kesan yang ia rasakan tidak menggembirakan. Sama seperti penggunaan kendaraan bermotor yang cenderung menghindari polisi, bahkan di saat membutuhkan pertolongan. Mereka “menjauh” karena telanjur memiliki kesan negatif yang tidak menyenangkan. Jika ada pemicu yang cukup, kesan negatif itu dapat menjadi benih-benih penentangan kepada agama; Allah dan rasul-Nya. Na’udzubillahi min dzalik.

Rasanya, telah cukup pelajaran yang terbentang di hadapan mata kita. Anak-anak yang dulu paling keras mengumandangkan adzan, sekarang sudah ada yang menjadi penentang perintah Tuhan. Anak-anak yang dulu segera berlari menuju tempat wudhu begitu mendengar suara batuk bapaknya di saat maghrib, sekarang di antara mereka ada yang berlari meninggalkan agama. Mereka mengganti keyakinannya pada agama dengan kepercayaan yang kuat pada pemikiran manusia, karena mereka tak sanggup merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Sebab, semenjak kecil mereka tak biasa menangkap dan merasakan kasih-sayang Allah.

Agaknya, ada yang salah pada cara kita memperkenalkan Allah kepada anak. Setiap memulai pekerjaan, apa pun bentuknya, kita ajari mereka mengucap basmalah. Kita ajari mereka menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tetapi kedua sifat yang harus selalu disebut saat mengawali pekerjaan itu, hampir-hampir tak pernah kita kenalkan kepada mereka (atau jangan-jangan kita sendiri tak mengenalnya?). Sehingga bertentangan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka ucapkan tentang Tuhannya.

Bercermin pada perintah Nabi saw. dan urutan turunnya ayat-ayat suci yang awal, ada beberapa hal yang patut kita catat dengan cermat. Seraya memohon hidayah kepada Allah atas diri kita dan anak-anak kita, mari kita periksa catatan berikut ini:

Awali Bayimu dengan Laa Ilaaha IllaLlah

Rasulullah saw. pernah mengingatkan, “Awalilah bayi-bayimu dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.”

Kalimat suci inilah yang perlu kita kenalkan di awal kehidupan bayi-bayi kita, sehingga membekas pada otaknya dan menghidupkan cahaya hatinya. Apa yang didengar bayi di saat-saat awal kehidupannya akan berpengaruh pada perkembangan berikutnya, khususnya terhadap pesan-pesan yang disampaikan dengan cara yang mengesankan. Suara ibu yang terdengar berbeda dari suara-suara lain, jelas pengucapannya, terasa seperti mengajarkan (teaching style) atau mengajak berbincang akrab (conversational quality), memberi pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan bayi. Selain menguatkan pesan pada diri anak, cara ibu berbicara seperti itu juga secara nyata meningkatkan IQ balita, khususnya usia 0-2 tahun. Begitu pelajaran yang bisa saya petik dari hasil penelitian Bradley & Caldwell berjudul 174 Children: A Study of the Relationship between Home Environment and Cognitive Development during the First 5 Years.

Apabila anak sudah mulai besar dan dapat menirukan apa yang kita ucapkan, Rasulullah saw. memberikan contoh bagaimana mengajarkan untaian kalimat yang sangat berharga untuk keimanan anak di masa mendatang. Kepada Ibnu ‘Abbas yang ketika itu masih kecil, Rasulullah saw. berpesan:

“Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh ummat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu.Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.” (HR. At-Tirmidzi).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Jagalah hak-hak Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia ada di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika engkau berada dalam kelapangan, niscaya Allah pun akan mengingatmu ketika engkau berada dalam kesempitan. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang salah dalam dirimu tidak mesti engkau langsung mendapatkan hukuman-Nya. Dan juga apa-apa yang menimpa dirimu dalam bentuk musibah atau hukuman tidak berarti disebabkan oleh kesalahanmu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu akan datang ketika engkau berada dalam kesabaran, dan bersama kesempitan akan ada kelapangan. Juga bersama kesulitan akan ada kemudahan.”

Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Tak ada penolong kecuali Allah Yang Maha Kuasa; Allah yang senantiasa membalas setiap kebaikan. Tak ada tempat meminta kecuali Allah. Tak ada tempat bergantung kecuali Allah. Dan itu semua menunjukkan kepada anak bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.

Wallahu a’lam bishawab.

Iqra’ Bismirabbikal ladzii Khalaq

Sifat Allah yang pertama kali dikenalkan oleh-Nya kepada kita adalah al-Khaliq dan al-Karim, sebagaimana firman-Nya, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).

Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita berikan kepada anak saat mereka mulai bisa kita ajak berbicara. Pertama, memperkenalkan Allah kepada anak melalui sifat-Nya yang pertama kali dikenalkan, yakni al-Khaliq (Maha Pencipta). Kita tunjukkan kepada anak-anak kita bahwa kemana pun kita menghadap wajah kita, di situ kita menemukan ciptaan Allah. Kita tumbuhkan kesadaran dan kepekaan pada mereka, bahwa segala sesuatu yang ada di sekelilingnya adalah ciptaan Allah. Semoga dengan demikian, akan muncul kekaguman anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak untuk tunduk kepada-Nya.

Kedua, kita ajak anak untuk mengenali dirinya dan mensyukuri nikmat yang melekat pada anggota badannya. Dari sini kita ajak mereka menyadari bahwa Allah Yang Menciptakan semua itu. Pelahan-lahan kita rangsang mereka untuk menemukan amanah di balik kesempurnaan penciptaan anggota badannya. Katakan, misalnya, pada anak yang menjelang usia dua tahun, “Mana matanya? Wow, matanya dua, ya? Berbinar-binar. Alhamdulillah, Allah ciptakan mata yang bagus untuk Owi. Matanya buat apa, Nak?”

Secara bertahap, kita ajarkan kepada anak proses penciptaan manusia. Tugas mengajarkan ini, kelak ketika anak sudah memasuki bangku sekolah, dapat dijalankan oleh orangtua bersama guru di sekolah. Selain merangsang kecerdasan mereka, tujuan paling pokok adalah menumbuhkan kesadaran –bukan hanya pengetahuan—bahwa ia ciptaan Allah dan karena itu harus menggunakan hidupnya untuk Allah.

Ketiga, memberi sentuhan kepada anak tentang sifat kedua yang pertama kali diperkenalkan oleh Allah kepada kita, yakni al-Karim. Di dalam sifat ini berhimpun dua keagungan, yakni kemuliaan dan kepemurahan. Kita asah kepekaan anak untuk menangkap tanda-tanda kemuliaan dan sifat pemurah Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga tumbuh kecintaan dan pengharapan kepada Allah. Sesungguhnya manusia cenderung mencintai mereka yang mencintai dirinya, cenderung menyukai yang berbuat baik kepada dirinya dan memuliakan mereka yang mulia. Wallahu a’lam bishawab.* (Sumber: Suara Hidayatullah)
Read More...

Manasik Haji Anak Sholeh 2010

Untuk mengenalkan anak didik terhadap ibadah Haji,maka diadakan manasik haji anak sholeh 2010 yang diikuti oleh kurang lebih 300 siswa/siswi dari TK Yaa Bunayya I, Yaa Bunayya II serta SD Integral Luqman Al Hakim Bojonegoro. acara diadakan di Masjid Baabhu Shoffa jl. Basuki Rahmat. "Semoga dengan adanya acara ini para siswa dan siswi khususnya bisa mengetahui dan mengambil hikmah dari acara manasik haji ini antara lain bertaqwa kepada allah, menjadi anak sholeh-sholehah dan berbakti kepada kedua orang tua ujar ketua panitia "zainul Arifin.
Read More...

Belajar Dari Masa Kecil

<< Moh Fauzil Adhim >>

Malam itu, Fathurrahmi datang. Sahabat saya asal Cadek-Aceh ini bertutur mengenangkan masa-masa kecil ketika meunasah (mushala) menjadi tempat terindah bagi anak laki-laki pada masa itu untuk menghabiskan waktu malam. Bercengkrama bersama-sama sambil meraup ilmu yang seakan selalu mengalir dari para Tengku. Ba`da maghrib adalah waktu-waktu untuk belajar mengakrabi Al-Qur`an dan pengetahuan fiqih dasar.

Saya merasakan ada kesedihan yang mendalam disela-sela ucapannya. Bukan untuk meratapi permukiman yang telah rata dengan bumi karena disapu tsunami. Tetapi, rasa kehilangan yang sangat besar karena tradisi yang sangat baik itu sekarang seakan telah ditelan bumi.

Cerita yang dituturkan oleh Fathur ini mengingatkan pada masa kecil yang indah, ketika hampir semua orang di kampung menjadi penjaga bagi setiap anak. Masjid dan mushala (dikampung saya orang menyebutnya langgar) adalah tempat anak laki-laki yang sudah beranjak besar berkumpul, belajar, dan tidur. Anak-anak yang sudah menjelang `aqil-baligh itu mengisi waktunya dengan menghafal nazham yang berisi petuah-petuah berharga atau rumus-rumus ilmu yang digubah dalam bentuk sya`ir. Matan Alfiyyah yang berisi prinsip-prinsip bahasa Arab, adalah kumpulan syair bersajak. Nazhaman adalah istilah untuk kegiatan melantunkan nazham berharga ini.

Menjelang maghrib, kira-kira satu atau setengah jam sebelum adzan berkumandang, anak-anak biasanya sudah bersiap dengan pakaian bersih, siap untuk berangkat kerumah guru ngaji yang dipilih. Sarung sudah dipakai dengan rapi, dan kopiah hitam dikenakan untuk menandai sudah siap untuk mengaji. Anak-anak itu biasanya sudah mempunyai guru ngaji sendiri-sendiri; di mushala-mushala atau datang kerumah-rumah. Anak-anak yang masih belum berumur tujuh tahun (belum mumayyis) biasanya mendatangi pelajaran mengaji kerumah-rumah. Mereka belajar bersama anak-anak perempuan. Jika anak sudah seminggu belajar mengaji di satu tempat yang dipilih anak, orang tua biasanya mendatangi guru ngaji tersebut dengan kepasrahan yang tulus untuk menitipkan secara resmi agar anaknya dididik dan didoakan disetiap shalatnya.

Para guru ngaji itu ibaratnya orang tua kedua atau bahkan lebih. Nasehat mereka adalah nasehat orang tua. Kalau para guru itu menghukum, orang tua umumnya selalu membenarkan tindakan tersebut. Kalau anak tampak tidak terima dengan tindakan guru terhadapnya, orang tua biasanya menjadi penengah yang memahamkan anak, sehingga tetap muncul kecintaan pada guru. Kisah Nabi Isa ‘alaihis-salam ketika berguru kepada Nabi Khidhir ‘alaihis-salam biasanya membuat anak-anak terhibur dan bersabar, sembari berharap mudah-mudahan ilmu kami manfaat.

Jauh sekali bedanya masa itu. Orang tua tidak perlu gelisah kalau anak laki-lakinya tidak tidur di rumah, karena tempat anak laki-laki yang menjelang `aqil baligh hingga menjelang mereka menikah adalah di masjid atau langgar. Kalaupun mereka tidur di rumah teman, mereka juga tidak khawatir karena yakin orangtua temannya anak akan membangunkan pada waktu subuh dan mengingatkan jika ada akhlak yang tidak baik. Rasanya setiap orang menjadi pendidik bagi setiap anak. Setidaknya mereka turut menjaga anak orang lain.

Saya ingat pada waktu kecil saya biasa datang ke rumah-rumah tetangga untuk melihat televisi saat siaran berita. Saya bawa sebuat blocknote kecil untuk mencatat isi berita, dan segera beranjak pergi sesudah siaran berita selesai. Sekali waktu ketika saya terbawa untuk ikut nonton acara berikutnya yang kebetulan tidak bagus, pemilik televisi kerapkali mengingatkan saya agar bermain di luar. Tidak nonton televisi.

Tetapi, itu semua rasanya mimpi saat ini. Ketika SCTV mulai masuk kekampung kami, para orangtua tidak lagi merasa aman jika anak laki-lakinya yang sudah menjelang usia 2 tahun sekalipun, tidak tidur di rumah. Ibu-ibu yang dulu mengajari kami mengaji, sekarang sudah sibuk dengan televisi. Ibu-ibu yang dulu sabar bercerita tentang Nabi Muhammad Saw, para sahabat hingga teladan dari para kiai,sekarang lebih akrab dengan artis dan televisi. Bapak-bapak yang dulu mengajari kami ta`lim mua`alaim agar ilmu yang kami dapat benar-benar bermanfaat, sekarang sibuk menghafalkan jadwal acara televisi. Dan, Manchester United lebih dekat dengan kehidupan daripada Bidayatul-Mujtahid.

Tradisi Keilmuan yang hilang

Pada masa kecil, sebelum SCTV masuk kampung kami, anak-anak usia 7-8 tahun mulai mengaji fiqih dasar seusai belajar Al-Qur’an. Kami biasanya belajar Safinatun-Najah yang berisi semacam pengantar fiqih tentang berbagai cabang masalah. Kalau anak sudah tamat belajar Safinatun-Najah, akan berlanjut ke kitab fiqih berikutnya yang lebih kompleks. Tetapi, pembahasannya selalu diawali dengan masalah thaharah; masalah kecil yang sangat menentukan. Pada hari-hari tertentu, kitab yang dipelajari beda. Biasanya berkait dengan akidah dan akhlak.

Hari Kamis malam Jumat umumnya merupakan hari libur. Anak-anak yang masih berusia 6-8 tahun atau 9 tahun biasanya libur penuh. Sedangkan anak-anak diatas usia itu, biasanya mempunyai kegiatan. Sebagaian langgar menggunakan waktu libur ini untuk membaca Barzanji berikut aturan-aturannnya yang saya tidak mengerti. Tetapi, sebagian lainya tidak melakukan karena memang tidak menerima tradisi ini.

Kakek saya yang merupakan murid langsung dari Hadratusy-Syaikh Hasyim Asy`ari termasuk yang tidak menerima barzanji. Dia membolehkan membaca barzanji sebagai karya syair, tetapi tidak mengizinkan untuk menjadikannya sebagai acara, sehingga tampak sebagai ritual. Sebagian besar langgar di kampung saya termasuk yang tidak menerima tradisi barzanji maupun pembacaan manaqib Syaikh `Abdul Qadir al-Jailani. Apa lagi kalau disertai ingkung (ayam panggang utuh dapat perlakuan tertentu), keras sekali larangan kakek saya. Langgar di kampung saya, ketika itu, umumnya mengikuti pendapat yang melarang ritual barzanji.

Tetapi, tulisan ini tidak saya maksudkan mendiskusikan boleh tidaknya ritual barzanji. Tulisan ini saya hadirkan untuk belajar mengambil pelajaran dari pengalaman masa kecil. Pertemuan malam itu dengan Fathurrahmi membuat saya tersentak dan menyadari betapa sedikit yang sudah saya berikan kepada anak-anak. Dahulu, anak-anak sudah memahami fiqih dasar, sebelum mereka berusia 10 tahun. Sehingga ketika mereka tidak mengerjakan shalat orang tua memiliki alasan untuk memukul. Meski tidak menyakitkan, tetapi bukankan untuk memukul, orang tua harus mengingat qubhunal - `iqaab bilaa bayaan? adalah buruk menghukum tanpa memberikan penjelasan.

Mengenangkan masa kecil, ada banyak hal yang mengusik jiwa. Ketika tardisi keilmuan melekat kuat dimasyarakat, para ibu tidak perlu kebingungan untuk menjelaskan mengapa tidak shalat. Sebab anak-anak sudah belajar dilanggar-langgar tentang haid, kaifiyah mandi junub, berwudhu, membedakan bersih tak berarti selalu suci, serta bebrbagai perkara penting lainnya. Hari ini, tardisi keilmuan itu telah berganti dengan tradisi nonton TV. Uang yang dulu ditabung sebagai bekal menuntut ilmu , sekarang beralih fungsi. Orang sibuk menabung untuk membeli mimpi – mimpi yang tak terbeli ; mimpi – mimpi yang mereka jejalkan setiap hari kepada diri mereka maupun anak –anak.

Saya pernah merasa sangat terpukul ketika suatu hari ada istri seorang ustadz tergesa-gesa pulang begitu pengajian diakhiri. Bukan mengingat ada tetangga yang kelaparan, tetapi karena tayangan telenovela yang disukai sudah dimulai. Saya ingat sekali yang diburu oleh ibu kita ini: Casandra. Saya tidak tahu, sekarang masih ada atau tidak tayangan tersebut. Saya berharap sudah tidak ada lagi. Tetapi kalaupun sudah tidak ada, apakah acara-acara di televisi sekarang sudah lebih baik?

Mengenangkan masa kecil, banyak pelajaran yang menggugah saya untuk merenungkan sejenak. Inilah masa ketika orang bersungguh-sungguh untuk mencari ilmu, sekurangnya yang menjadi bekal dasar kehidupan mereka. Ulama adalah orang yang sering menangis; menangisi dirinya sendiri karena tak mampu mengingatkan orang lain, menangisi kekurangan dalam berbuat baik dan menangisi manusia yang belum menyambut hidayah. Mereka dipanggil kyai karena masyarakat memberikan panggilan itu. Bukan karena mereka memberi julukan untuk mereka sendiri seraya membuat kartu nama indah yang bertuliskan Kyai Haji. Mereka segera menarik tangannya begitu ada yang bergerak menciumnya. Bukan memerah mukanya karena santri tak menggamit tangannya untuk dicium.

Pada masa itu, saya mendapati NU dan Muhammadiyah belajar dari sumber yang sama. Di kampung saya, kebetulan NU dan Muhammadiyah perintisnya adalah keluarga. Hari ini, ketika tradisi keilmuan itu berganti dengan tradisi nonton televisi, Muhammadiyah kehilangan ulama. Sementara Ulama NU banyak yang kehilangan integritas. Hari ini, saya mendapati orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan sebagai ulama, telah menisbatkan diri sebagai ulama. Pada saat yang sama, anak-anak kita semakin jauh dari agama. Masa-masa emas mereka belajar agama terlewatkan begitu saja secara teratur.
Read More...

Imunisasi Jiwa

<< By.M. Fauzil Adhim >>

Istri saya menangis. Hari itu Fathimah, anak saya yang pertama, bercerita kepada ibunya tentang apa yang ia jumpai dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dua anak berseragam SMP berlainan jenis kelamin, menyepi berdua-duaan di lapangan dekat sekolah. Siswa laki-laki mendekatkan wajahnya sehingga keningnya bertemu dengan kening temannya yang perempuan, pipi bertemu dengan pipi, dan selebihnya saya tidak cukup tega untuk menceritakan kepada Anda.
“Terus mereka pegang-pegangan,” kata Fathimah melanjutkan, “Itu kan nggak boleh ya, Bunda?”
Istri saya tersentak. Cerita yang sama sekali tak terduga. Sama seperti pertanyaan yang datang dengan tiba-tiba, kerap membuat kita terkesiap kalau tak menyadari bahwa pertanyaan anak datangnya selalu lebih cepat daripada jawaban yang tersedia di kepala kita.
Maka sungguh, kita tak pernah cukup mengantarkan mereka dewasa kalau kita hanya mengumpulkan perbendaharaan jawaban yang berlimpah. Yang harus kita miliki adalah arah yang kuat dalam mendidik anak, cita-cita yang besar, visi yang jelas dan kesediaan untuk terus belajar. Kuncinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tunjukkan dalam Surat An-Nisaa’ ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (qaulan sadiida).”
Inilah yang harus kita berikan. Ini pula yang harus kita tumbuhkan dalam diri kita. Tetapi, astaghfirullahal-‘adziim, alangkah jauh kita dari Allah. Alangkah rapuh ketakwaan kita kepada-Nya. Padahal Allah‘Azza wa Jalla telah menjanjikan memperbaiki amal-amal kita, tidak terkecuali dalam menyiapkan anak-anak kita menjadi kader dakwah yang iman selalu di hatinya, baik di saat tangan menggenggam dunia seisinya atau pun ketika dunia terlepas dari dirinya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzaab: 70-71).
Jalan Terbaik
Tak ada jalan lain menghadapi cerita dan pertanyaan anak yang mengejutkan, kecuali memanfaatkan saat terbaik ini untuk memberi pengertian dan mengarahkan hatinya kepada kebaikan. Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, “seburuk apapun”, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka, jalan terbaik adalah menghargai kepercayaan dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.
Artinya, tak cukup hanya memberikan jawaban sehingga anak paham atau justru menimbulkan pertanyaan baru yang lebih membingungkan. Lebih dari itu, kita memberi jawaban sembari menumbuhkan pada dirinya amanah untuk bertindak. Amanah yang kelak Allah akan minta ia untuk mempertanggungjawabkan.
Mendengar cerita anak saya, istri saya kemudian berkata dengan suara yang dalam dan berat. Ia ajak Fathimah mendekat, sehingga adik-adiknya juga tertarik untuk mendekat.
“Fathim,” kata istri saya menahan tangis, “mereka sebenarnya sedang berbuat dosa. Di antara mereka ada yang tidak tahu kalau itu perbuatan dosa karena mereka tidak pernah belajar agama. Tetapi ada juga yang sudah tahu. Mereka mengerti kalau perbuatan itu dosa, tetapi tidak mau mentaati.”
“Kalau mereka mengerti, kenapa mereka tetap berbuat yang nggak baik? Kan mereka bukan muhrim, Bunda?” Fathim bertanya.
“Nak, untuk taat tidak cukup hanya mengerti. Mereka mungkin ingin menjadi orang yang baik dan tidak berbuat dosa. Tetapi mereka tidak kuat menahan godaan,” kata istri saya.
“Memangnya mereka digoda? Siapa yang menggoda? Kan setannya nggak kelihatan,” tanya Husain menyergah.
Anak yang kedua ini memang sering membuat kejutan dengan pertanyaan yang kritis. “Kelihatan, Nak. Setan itu kadang menggoda lewat bisikan hati, kadang melalui manusia, kadang melalui televisi,” kata istri saya menerangkan.
Kemudian ia mengajak anak-anak berdiskusi tentang apa yang pernah mereka lihat di televisi, meski kami lebih memilih untuk tidak punya televisi di rumah. Tetapi bukankah di kereta api milik PJKA pun kadang tayangan yang disajikan sangat merusak mental anak? Bukankah di bandara pun pesawat televisi senantiasa menyala-nyala?
Istri saya bertutur kepada mereka, seandainya televisi menayangkan program-program yang baik untuk menambah keimanan dan kemuliaan, insya Allah, di rumah akan ada TV. Tetapi tayangan-tayangan di TV memang lebih banyak sampahnya daripada manfaatnya.
“Tapi kan kita bisa melihat berita?” tanya anak saya.
“Iya, Nak. Tetapi di televisi lebih banyak gosip daripada berita. Kalau mau mencari berita, kita bisa baca di koran. Setiap hari di rumah kan sudah ada tiga koran, bisa kita baca. Itu pun kita harus berhati-hati. Tidak boleh langsung percaya,” istri saya menjelaskan.
Istri saya lalu bercerita tentang James Yee, ulama Muslim militer Amerika yang menjadi korban paranoid pemerintah Amerika Serikat. Ia memang baru saja selesai membaca buku For God and Country yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ia bercerita kepada anak-anak bagaimana James Yee difitnah, dipenjara, dan dianiaya hanya karena ia seorang Muslim. Media massa Amerika sempat menulis berita yang menjelek-jelekkan James Yee.
“Karena itu Nak, kalian semua harus menjadi orang-orang cerdas. Kalian semua harus memiliki iman yang kuat. Kalian semua harus menjadi manusia-manusia cemerlang yang bisa menolong agama Allah,” kata istri dengan mata yang berkaca-kaca.
Kemudian ia mengusap kepala anak saya yang kelima, Muhammad Navies
Ramadhan, sembari berkata, “Kelak, kamu harus memiliki bisnis yang besar. Dunia ada di tanganmu, Nak. Tetapi di hatimu hanya ada cinta kepada Allah.”
Anak-anak kami yang lain menatap. “Aku, Bun? Kalau sudah besar aku juga bisnis?” tanya Husain.
“Iya, Nak. Mukmin yang baik adalah yang paling kuat. Kuat imannya, kuat badannya, kuat usahanya, kuat segala-galanya,” kata istri saya, “Namamu Muhammad Husain As-Sajjad. Ahli sujud. Jadi apa pun kamu nanti, semuanya untuk bersujud kepada Allah.”
Istri saya kemudian menengok kepada anak saya yang ketiga, Muhammad Hibatillah Hasanin, “Kamu, Nak. Semoga kelak kamu seperti namamu, menjadi hadiah bagi orangtua dengan dua kebaikan. Kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat,” kata istri saya.
Airmatanya semakin tak bisa ditahan, meski belum jatuh.
“Dan kamu, namamu Muhammad Nashiruddin An-Nadwi. Kelak, jadilah kamu penolong agama Allah,” ucap istri saya.
Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, membiarkan suaranya parau menahan tangis.
“Nak, ibu kadang-kadang melihat apa yang kamu lihat saat di perjalanan,” kata istri saya sembari menuturkan sebagian pengalamannya, “Ibu lalu berdoa sambil menangis dalam hati, ‘Ya Allah, lindungilah anak-anak kami dari keburukan dan kejahatan. Ya Allah, jadikanlah mereka anak-anak yang bisa meninggikan kalimat-Mu. Ya Allah, jadikanlah mereka ahli berbuat kebaikan.’”
Istri saya menangis. Anak-anak saling berpandangan.
Husain lalu berkata, “Jadi, airmata jatuh ke dalam hati?
Istri saya terdiam.

Satu pelajaran telah kami ambil. Anak-anak harus diberi imuniasasi jiwa. Bukan sterilisasi. Tetapi untuk melakukan imunisasi, jarum suntiknya harus steril. Dan jarum suntik itu adalah pendidikan.*
Read More...

Kunjungan Ke UPT Kayu Sukorejo Bojonegoro

Untuk memberikan pengetahuan siswa-siswi SD Integral Luqman Al Hakim Bojonegoro terhadap manfaat dari kayu jati.Tepatnya kemarin tanggal 1 Nopember 2010 mengadakan kunjungan ke UPT Kayu Ds. Sukorejo Kec. Bojonegoro yang di ikuti oleh 2 guru pembimbing dan 27 siswa, sesampainya di sana para siswa di ajari bagaimana cara memanfaatkan kayu Jati serta limbah dari kayu jati itu sendiri misalnya kerajinan dari pelepah pisang,enceng gondok,meuble,tempat pensil dll. Dalam menanamkan sifat cinta terhadap lingkungan di lakukan juga penanaman pohon perdu setelah acara selesai.
Read More...
 
Copyright (c) 2010 SD Integral Luqman Al Hakim Bojonegoro
Jl. Lisman 18 B Bojonegoro Telp (0353) 7705344,888025, Email :sdintegral@yahoo.com