Web Toolbar by Wibiya

INFO LIBURAN SEMESTER I

Assalamu'alaikum wr wb
di beritahukan kepada wali murid kelas I s/d VI

Bahwasanya libur semester I di mulai besok pada :
Hari : sabtu s/d Ahad
Tanggal : 25/12/10 s/d 02/01/11

senin tanggal 3 januari 2011 masuk dan pulang pukul 10.30 WIB

demikian pemberitahuan dari kami disampaikan terima kasih.

TTD
TU
Read More...

Pengumuman Hasil Tes Guru

an Hasil Tes Guru SD Integral Luqman Al Hakim Bojonegoro

Bagi yang di terima harap hadir di sekolah besok pada :
Hari / Tgl :Senin 3 Januari 2011
Waktu :09.00 s/d 10.00 WIB
Read More...

Motivasi Intrisik

Seorang ibu bertanya tentang anaknya. Sejak kecil selalu memperoleh ranking bagus di kelasnya. Prestasi akademik selalu cemerlang. Tetapi belakangan minat belajarnya merosot drastis. Tak ada gairah belajar. Tak ada minat untuk mengerjakan PR. Ketika ibunya mengingatkan untuk belajar lebih giat agar rankingnya tidak jeblok, ia berkata, “Aku bosan sama ranking.”

Pertanyaan ibu ini mengingatkan saya pada teori motivasi. Ada motivasi ekstrinsik, ada motivasi intrinsik. Anak kita menyapu lantai agar mendapat sebiji permen dari orangtua, tekun belajar agar dapat ranking satu (karena nanti kita belikan ia sebuah sepeda mungil), atau bersemangat memberesi kamar agar diajak jalan-jalan, adalah contoh motivasi ekstrinsik. Anak melakukan aktivitas apa pun, termasuk shalat dan mengaji, karena ingin mendapatkan hadiah yang dijanjikan kepadanya merupakan bentuk motivasi ekstrinsik. Kita rajin puasa Senin-Kamis karena ingin lulus ujian, bukan karena berserah diri kepada Allah Yang Maha Tinggi.

Motivasi ekstrinsik cepat pudar. Anak mudah kehilangan semangat karena hadiah yang dijanjikan –termasuk hadiah berupa “ranking”—tidak lagi memiliki daya tarik. Semangatnya melemah (less zeal) karena imbalan yang diberikan meaningless (kehilangan makna), sehingga tak ada lagi alasan untuk mengejar. Seperti anak ibu tadi, mereka bisa bosan dapat ranking yang bagus.
Kapan anak merasa bosan? Ketika anak merasa hadiah itu tak memberi manfaat apa-apa. Anak-anak tidak membutuhkan. Kalau dulu anak bersemangat menyapu untuk memperoleh permen, sekarang permen sudah tidak menarik lagi. Anak butuh rangsangan lebih besar untuk bertindak.

Cepat lambatnya anak merasa bosan dipengaruhi sekurangnya oleh dua hal. Pertama, nilai imbalan atau hadiah yang dijanjikan kepada anak. Setiap hadiah akan mengalami penyusutan nilai bagi anak. Saat anak belum pernah memegang, sebuah mobil mainan sangat menggiurkan bagi anak. Tetapi ketika berbagai jenis mainan sudah sering ia pegang, mobil-mobilan yang bagus lengkap dengan remote controlnya pun sudah tidak menarik lagi.

Melemahnya daya tarik imbalan juga dipengaruhi oleh ada tidaknya aktivitas yang memberi daya tarik lebih besar. Video-game, misalnya. Semakin kuat keasyikan yang diperoleh anak saat bermain play-station, semakin lemah daya tarik imbalan yang kita janjikan agar anak mau belajar yang rajin. Lebih-lebih jika aktivitas lain yang mengasyikkan itu pada saat yang sama juga menyerap seluruh energi psikis anak sekaligus membuat anak pasif. Berbagai jenis game –juga tayangan TV—membuat anak terpaku secara pasif. Mereka dibombardir dengan gambar-gambar kekerasan yang berganti dengan kecepatan sangat tinggi, sehingga memaksa mereka untuk terus memperhatikan tanpa berkedip.

Aktivitas semacam ini membuat anak mengalami kelelahan secara psikis. Ibarat truk, bebannya berlebih. Ibarat komputer, sistemnya hang. Macet. Meskipun kemampuannya sangat besar dan kecepatan prosesor sangat tinggi, tetapi tidak mampu mengerjakan tugas dengan baik. Anak-anak yang sedang hang, tidak mampu memusatkan perhatian saat belajar dan sulit mencerna buku yang ia baca. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang permainan yang ia pelototi di video-game. Dalam bahasa komputer, anak ini mengalami registry error. Badannya ada di kelas, telinganya mendengar suara guru, tetapi pikirannya ada di play-station.

Ketika anak mengalami hang, ia kehilangan rasa ingin tahu. Kreativitasnya tumpul. Ia tidak betah berpikir, mencari tahu dan menekuni kegiatan yang menuntutnya berpikir aktif. Ia kehilangan gagasan dan kecemerlangan berpikir, kecuali pikiran untuk kembali menyibukkan diri dengan video-game atau tayangan TV. Pada tingkat yang parah, anak mengalami kecanduan.

Anak yang terlalu banyak memelototi video-game sampai pada tingkat yang sangat menguras energi psikis, cenderung sangat pasif atau justru sebaliknya amat agresif. Mereka bisa seperi orang linglung. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Bisa juga sangat ganas. Mereka berperilaku sangat agresif karena pengaruh adegan yang disaksikan. Bukan karena dorongan kecerdasan.

Bisa juga terjadi anak pasif sekaligus impulsif. Secara sosial, mereka terputus dari lingkungan. Pada anak-anak yang tingkat kecanduannya sudah sangat akut, boleh dikata mereka tidak mempunyai kontak dengan orang lain, termasuk orangtua. Interaksinya cuma dengan benda bernama TV, play-station atau layar komputer yang menyajikan game. Mereka tidak betah berinteraksi dengan orang lain. Di saat yang sama, adegan kekerasan yang bertubi-tubi –khususnya dalam video-game—memberi efek desensitisasi. Perasaan mereka tumpul. Hati mereka keras.

Berapa jam waktu menonton yang sehat bagi anak? Sekitar 8 sampai 10 jam seminggu. Itu pun dengan catatan tayangannya masih cukup sehat. Jika tayangannya benar-benar sangat edukatif dan merangsang daya nalar anak, mereka bisa menonton maksimal 15 jam seminggu. Lebih dari itu sudah tidak sehat. Apalagi kalau acaranya banyak menayangkan kekerasan, jam menonton harus dipersingkat. Dalam The Smart Parent’s Guide to KIDS’ TV, Milton Chen menunjukkan bahwa durasi 4 jam sehari (28 jam seminggu) sudah termasuk kategori yang sangat menakutkan. Benar-benar membahayakan mental dan kepribadian anak. Apalagi kalau tayangan itu berupa video-game yang dari detik ke detik hanya menyajikan kekerasan, keganasan dan cuma memancing reaksi impulsif anak.

Alhasil, tak ada yang perlu kita salahkan kecuali diri sendiri kalau anak-anak kita kehilangan motivasi belajar, sementara setiap hari mereka memelototi TV enam jam sehari! Agaknya, ada benarnya ketika Fred Rogers berkata, “Barangkali televisi adalah satu-satunya peralatan elektronik yang lebih bermanfaat justru setelah dimatikan.”
Kedua, cepat lambatnya anak merasa bosan dipengaruhi oleh tekanan yang mereka terima. Anak yang sering dibebani untuk mendapatkan ranking, cenderung cepat kehilangan minat. Ia belajar di bawah tekanan karena tidak ingin orangtuanya cemberut. Selebihnya, tak ada alasan yang menggerakkan jiwa untuk tekun membaca.
Motivasi ekstrinsik terbagi menjadi dua, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek misalnya permen yang kita berikan begitu anak menyapu, jangka panjang misalnya iming-iming pada anak kelas 4 SD kalau lulus UASBN dengan nilai tinggi akan dibelikan laptop baru. Semakin pendek dan nyata iming-iming yang kita berikan, semakin cepat kelihatan reaksinya, sekaligus semakin mudah hilang kekuatannya. Anak-anak yang digerakkan oleh motivasi ekstrinsik jangka pendek, ibaratnya sama dengan mobil mewah tanpa bensin. Kalau lagi didorong, jalan. Tapi kalau tak ada yang mendorong, mogok. Mobil tak bisa berjalan lagi.

Anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik, sebaliknya, merasa asyik dengan apa yang dikerjakan, menemukan kegembiraan saat menghadapi tantangan, bahagia ketika mengerjakan tugas-tugas sehingga ia terlibat penuh secara emosional. Mereka berpartisipasi melakukan kegiatan karena menemukan kegembiraan, kebahagiaan, keasyikan atau makna dari apa yang dilakukannya. Bukan demi memperoleh hadiah. Dalam tindakan itu sendiri, ada yang ia dapatkan sebagaimana pendaki gunung memperoleh kepuasan. Kebahagiaannya terletak pada kemampuannya mengatasi rintangan. Bukan pada decak kagum orang yang memandang.

Dalam bukunya berjudul Adolescence (2001), John W. Santrock menulis bahwa motivasi intrinsik sangat mempengaruhi kreativitas dan rasa ingin tahu anak (natural curiosity). Anak-anak yang motivasi intrinsiknya kuat cenderung lebih kreatif, kaya gagasan, senantiasa menemukan ide-ide segar –pada tahap awal adalah ide-ide permainan—serta ketertarikan yang kuat dalam melakukan berbagai aktivitas. Mereka juga memiliki rasa ingin tahu yang besar, minat yang luas dan cenderung memiliki semangat belajar mandiri yang kuat.

Anak-anak yang memiliki motivasi intrinsik, betah membaca berjam-jam meskipun tidak ditunggui orangtua. Mereka merasa membaca sebagai kebutuhan. Bukan tuntutan orangtua dan sekolah.

Adakalanya anak memiliki motivasi intrinsik untuk suatu bidang, tetapi tidak untuk bidang yang lain. Adakalanya anak memiliki motivasi intrinsik untuk hampir semua bidang. Kapan saja, dimana saja dan mengerjakan apa saja, ia bersemangat. Bersungguh-sungguh ia belajar, meskipun tidak begitu menguasai.

Kuatnya motivasi intrinsik mampu membuat seseorang berani menghadapi kesulitan. Kisah tentang Imam Bukhari adalah kisah tentang manusia yang memiliki motivasi intrinsik luar biasa. Ia menempuh perjalanan beratus-ratus kilo, memenuhi kakinya dengan kepenatan, dan membiarkan tubuhnya disengat oleh panasnya matahari demi mendapatkan sebuah hadis. Kalau ia menginginkan harta dari penguasa, tak perlu ia menghabiskan waktu hanya untuk mendapatkan sebuah hadis yang belum tentu ia ambil (karena hadis itu ternyata dha’if, misalnya). Tetapi ada kekuatan jiwa yang menggerakkannya. Ada kecintaan pada agama yang membuatnya tak pernah berhenti mencari ilmu.

Kalau motivasi intrinsiknya sudah kuat, tanpa fasilitas yang memadai pun mereka bisa tumbuh menjadi manusia cerdas luar biasa. Nama-nama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal atau –apalagi—Abu Hurairah, bukanlah orang yang memiliki cukup sarana untuk belajar. Tetapi mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan jiwa menakjubkan. Dahsyatnya motivasi mereka untuk menolong agama membuat daya ingat mereka sangat hebat dan pikiran mereka amat jernih.

Kisah para penemu juga merupakan kisah tentang motivasi intrinsik yang kuat. Bukan kisah tentang banyaknya fasilitas yang mereka miliki. Orang-orang super kreatif bukanlah mereka yang memperoleh latihan gerak dengan iringan musik yang –kadang tanpa disadari guru—sensual. Pernah, saya merasa amat sedih ketika menghadiri acara tutup tahun sebuah lembaga pendidikan. Atas nama kreativitas, anak-anak disuruh lenggak-lenggok memutar badan รก la peragawati, diiringi dengan alunan musik menggoda. Seorang guru berdiri di samping, di seberang panggung, untuk mengawasi sekaligus mengarahkan dengan gerak mulut dan mata.

Mereka lupa –atau tidak tahu—bahwa ketika seorang anak menggerakkan dadanya, lalu memperoleh tepuk tangan meriah, yang menari-nari di benaknya bukanlah “isyhadu bi anna muslimun”, melainkan sensualitas. Bukan kreativitas.
Oleh : M. Fauzil Adhim
Read More...

Bersiaplah untuk kecewa

|Mohammad Fauzil Adhim|
Ada kabar dari geoff colvin , editor senior di majalah Fortune, penulis sekaligus dosen ini menyuguhkan data mengejutkan dalam bukunya bertajuk Talen is overrated (2008). Buku tersebut menunjukan betapa kita terlalu berlebihan memuja-muja bakat dan kejeniusan padahal semuat itu nyaris tak memberi manfaat apa-apa utnuk bagi masa depan anak, baik meraih sukses maupun kebahagiaan.
Bakat dan kejeniusan bukanlah kunci utama meraih sukses apapun bidang yang ia tekuni kunci paling pokok untuk meraih sukses bukan bakat besar maupun kejeniusan bukan pula keterampilan melakukan hal-hal yang diangap luar biasa oleh orang pada umumnya.banyak pebisnis maupun intelektual sukses yang IQ- nya rata-rata bukan superior apalagi jenius bahkan ada yang IQ sedikit dibawah rata-rata tetapi ia memiliki ketahanan mental yang luar biasa untuk belajar menghadapi kesulitan, termasuk hambatan fisik.
Sebagian orang sukses memang memiliki tingkat kecerdasan diatas rata-rata dia benar-benar memiliki kemampuan intelektual yang bagus, bukan sekedar mampu mempertunjukkan kebolehan yang bersifat langka tetapi harus di catat bahwa mereka meraih sukses itu melallui kerja keras yang luar biasa hebat dalam belajar. Meraka gigih belajar dan berlatih takkala orang lain sudah terlelap. Kisah sukses imam syafi’i ra misalnya bukan terutama soal kecerdasan tetapi berkait erat dengan kemampuan belajar yang luar biasa sekaligus kesanggupan untuk menghadapi kesulitan. Ini menjadikan seoran imam syafi’i yang ketika itu masih kanak-kanak mampu bertahan untuk menyimak pelajaran dari luar keras disebabkan ia tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk belajar di dalam kelas sebagai mana anak lain. Kisah Imam bukhori mencari sebuah hadits adalah contoh lain tentang betapa berharganya kesediaan untuk menderita demi meraih apa yang di yakininya berharga ia rela menempuh perjalanan panjang yang sulit hanya untuk memperoleh sebuah hadits meskipun hadits itu akhirnya tidak ia perhitungkan karna ternyata lemah.
Contoh lain anda tentu masih ingat kisah Billy Sidis yang saya sampaikan di majalah ini nama lengkapnya William James Sidis anak dari Prof. Dr.Boris Sidis orang yahudi yang menggagumi William James seorang ahli pysikologi. Secara intelektual Billy luar biasa cerdas IQ-nya 200 jauh diatas Albert Einstein usia 5 tahun sudah mampu menulis karya ilmiah tentang anatomi, usia 11 tahun kuliah di Harvard University unifersitas terkemuka di dunia yang terkenal dangan orang-orang cerdasnya dan pada usia 14 tahun memberi kuliah di unifersitas yang sama semua catatan ini menggukuhkanya sebagai anak jenius.
Pertanyaanya apakah yang bisa didapat dari k ejeniusannya ia benar-benar anak jenius yang sempurna tetapi kejeniusannya itu tidak memberi manfaat apa-apa baginya. Ia mampu berfikir rumit dan memecahakan masalah-masalah akademis jauh melampui anak-anak seusiannya bahkan lebih unggul di banding orang d ewasa tapi perkembanggan sosial emosional dan komunikasinya tidak sejalan dengan kemampuan kognitifnya. Kemampuan intelektualnya yang luar biasa tidak mampu menolongya berprilaku secara lebih dewasa sesuai usianya inilah yang kemudian menjadi masalah besar dalam hidupnya sehingga ia memilih menarik diri dari dunia intelektual lalu bekerja tukang cuci piring di rumah makan sampai akhir hayatnya.
Kasus Billy hanya salah satu anak saja. Anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, atau mereka hanya disibukkan dengan belajar secara akademik,cenderung menjadi pribadi yang matang dan rentan masalah jika mereka kurang memperoleh kesempatan berkembang secara alamiah. Kerentanan ini akan meningkat manakala anak-anak dipacu untuk menunjukkan prestasi yang bisa membanggakan orang tua atau melakukan yang bisa membangkitkan kebanggaan orang terhadapnya. Ia membuat anak sibuk melakukan hal-hal yang tampak luar biasa, meskipun sesungguhnya tidak penting bagi kehidupannya dimas kini maupun masa mendatang. Mungkin ia memang mampu menunjukkan prestasi tersebut(real achievement). Hanya saja yang diperlukan oleh seorang anak agat ia memiliki motivasi yang benar-benar kuat adalah prestasi yang sesungguhnya (true achivement). Begitu Janine walker Caffrey,Ed.D., menulis dalam bukunya yang berjudul Drive: 9 way to motivate your kids to achieve (2008).
Jadi sekedar jenius tidak cukup. Apalagi jika yang terjadi sesungguhnya bukan kejeniusan, melainkan perilaku yang mengesankan sebagai jenius (play acting as genius). Permaian kesan ini muncul dari orang-orang yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, bisa juga pada mereka yang biasa-biasa saja. Tidak sedikit prilaku yang dibentuk oleh orangtua atau orang dewasa lainya pada anak, sehingga orang lain menganggap hebat. Sementara anak itu sendiri boleh jadi merasa dirinya hebat, boleh jadi mempunyai waham kebesaran (grandeur delusion-keyakinan tentang suatu isi pikiran yang tidak sesuaidengan kenyataan atau tidak sesuai dengan intelegensi dan latar belakang kebudayaan.) dan bisa anak sepenuhnya mengetahui bahwa ia tidak sehebat yang dilihat orang.
Banyak peristiwa dalam sejarah yang menunjukkan upaya untuk mengesankan diri atau anak sebagai jenius. Wolfgang Amadeus Mozart pernah menyatakan bahwa ia menggubah kosentro sekali jadi. Tetapi kemudian diketahui bahwa ia menyusun sebuah kosentro bahkan dalam waktu bertahun-tahun. Bukan Cuma setahun, apalagi sekali jadi. Hanya saja ia berlatih keras dan pada waktu yang tepat ia seperti memperoleh ilham, lalu mempertunjukkan karya “sekali jadi” yang sudah ia susun bertahun-tahun itu.
Ada juga, Miguel Najdorf, grand master catur Argentina keturunan Polandia, bermain catur dengan mata tertutup (blindfolded chess) secara simultan sebanyak 45 kali. Ia ingin menunjukkan sebagai orang jenius yang memiliki daya ingat yang sempurna. Ini terjadi pada tahun1947-jauh sebelum saya lahir. Sebelum itu master dari Czech, Ricard Reti yang melakukan permainan catur dengan cara yang sama secara simultan sebanyak 29 kali. Ia memiliki daya ingat yang sempurna. Tetapi di akhir pertandingan, ia lupa membawa pulang kopernya.
Lebih penting dari itu semua, mereka tidak mampu menunjukkan kejeniusan tatkala diuji secara sistematis. Mereka mempertunjukkan kemampuan sebagai pembktian (proofing) atas”kejeniuasan” mereka. Tetapi mereka tidak mampu memberi bukti yang dapat diuji (evidences).
Ini sama seperti anggapan bahwa musik menjadikan anak jenius. Tak ada bukti secara utuh mampu menunjukkan. Yang ada hanyalah, memperdengarkan musik saat belajar menjadikan emosi anak aktif. Tetapi ini tidak serta merta menjadikan anak lebih cerdas. Begitu pula memperdengarkan musik klasik pada bayi. Menukil dari Alex Ross, Colvin menulis “Orangtua yang ambisius dan sekarang ini sedang mempertontonkan video”Baby Mozart” kepada bayinya bisa kecewa tatkala mempelajari bahwa Mozart menjadi Mozart karena kerja keras yang luar biasa.” Nah.” ( kolom parenting Suara Hidayatullah Edisi Desember 2010)
Read More...

Sekolah yang Menggairahkan

| By.M. Fauzil Adhim|

Perkembangan otak yang paling pesat terjadi pada rentang usia 0-8 tahun, baik secara fisik maupun intelektual. Delapan puluh persen perkembangan otak terjadi antara usia nol sampai dengan enam tahun.Selama rentang waktu tersebut, IQ anak dapat melonjak secara drastis jika memperoleh rangsangan yang tepat dari orangtua maupun pengasuh di day-care –kita menyebutnya TPA—dan play-group. Selanjutnya, peran strategis tersebut dipegang oleh guru TK dan SD kelas bawah, yakni kelas satu sampai dengan kelas tiga (itu sebabnya, perencanaan kurikulum TK perlu dikerjakan bersama dalam satu kesatuan dengan penyusunan kurikulum SD). Inilah masa paling penting untuk memba­ngun budaya belajar. Jika pada masa ini anak sudah memiliki budaya belajar yang tinggi, anak akan mudah mempelajari kecakapan belajar (learning skills) pada pe­riode berikutnya, yakni orientation stage, termasuk membangun orientasi hidup maupun ori­entasi akademiknya.

Jadi, yang perlu kita bangun pada masa awal perkembangan anak di sekolah adalah budaya belajar (learning culture). Bukan sekedar kebiasaan belajar (learning habit) dimana anak belajar karena sekolah memang menciptakan lingkungan akademik yang menuntut anak belajar, termasuk di dalamnya memberikan tugas-tugas. Setingkat lebih baik adalah munculnya ke­biasaan belajar karena lingkungan akademik yang merangsang gairah anak belajar. Anak bersemangat di sekolah sehingga kegiatan belajar terasa menyenangkan.

Apakah sebenarnya semangat itu? Keterlibatan emosi saat melakukan suatu kegi­atan sehingga kita merasakan situasi yang mengalir. Keadaan ini bisa terjadi karena hati kita yang gembira, peristiwa sebelumnya yang meluapkan perasaan positif, suasana yang menye­nangkan, guru-guru yang mengajar dengan antusiasme yang menyala-nyala, rancangan ling­kungan fisik sekolah yang menggugah, dan berbagai aspek lain yang mempengaruhi emosi saat belajar. Semakin tinggi keterlibatan emosi saat belajar, semakin efektif otak kita bekerja. Belajar seharian penuh, tetapi anak merasakannya seperti bermain. Asyik dan menyenang­kan.

Sekolah yang menerapkan model belajar sehari penuh (full day), harus memperha­tikan ini. Sekolah harus merancang kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, antusias dan positif agar anak memiliki semangat menyala-nyala saat belajar. Jika tidak, anak bisa meng­alami stress karena beban belajar yang melampaui “ambang kesanggupan mental”. Stress yang berlangsung secara terus-menerus bukan saja melemahkan kemampuan anak. Lebih dari itu, stress berkelanjutan merusak mental dan kepribadian.

Nah.

‘Alaa kulli hal, ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Suasana belajar yang menye­nangkan, guru-guru yang mengajar dengan penuh antusiasme dan rangsangan fisik sekolah yang menggugah memang mempengaruhi emosi anak. Mereka belajar dengan penuh sema­ngat. Tetapi semangat yang meluap-luap hanyalah bekal awal. Perlu ada upaya terencana membangun motivasi anak –tidak terkecuali guru—sehingga melahirkan budaya belajar yang kuat.

Istilah motivasi sering jumbuh dengan semangat. Saya sendiri kadang mengguna­kan dua istilah tersebut secara tidak tepat. Jika semangat adalah keterlibatan emosi saat me­lakukan aktivitas, maka motivasi adalah alasan yang menggerakkan seseorang untuk bertin­dak. Semakin kuat motivasi seseorang, semakin menyala semangatnya. Artinya, motivasi me­rupakan salah satu faktor pemacu semangat anak. Semakin kuat motivasi, semakin menyala-nyala semangat dalam diri anak.

Budaya belajar (learning culture) sangat dipengaruhi oleh kekuatan motivasi. Jika a­nak memiliki alasan yang kuat untuk bertindak, dan alasan itu mengakar dalam dirinya, maka ia akan memiliki energi untuk terus belajar. Semakin kuat ia membentuk budaya belajar da­lam dirinya, semakin tangguh semangatnya menggali ilmu meskipun lingkungan sekeliling tak sebaik dulu. Ini berarti, kuatnya budaya belajar menjamin berlangsungnya kebiasaan be­lajar (learning habit) hingga jenjang pendidikan berikutnya, meskipun suasana belajar di jen­jang tersebut tak sebaiknya jenjang sebelumnya.

Inilah yang perlu kita sadari ketika ingin mengembangkan budaya belajar. Lingkung­an yang mendukung memang sangat perlu. Guru-guru yang ramah, hangat dan bersahabat juga tak dapat ditawar-tawar. Begitu pula lingkungan fisik sekolah yang merangsang minat belajar, betapa pun sederhananya, sangat diperlukan.

Tetapi…

Tanpa membangun motivasi intrinsik yang kuat, anak-anak itu bisa kehilangan gai­rah belajarnya –bahkan perilaku positifnya—begitu mereka memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketika masih berada di jenjang sekolah dasar, semangat belajarnya sangat tinggi dan prestasi akademiknya menakjubkan. Begitu memasuki jenjang pendidikan berikut­nya, minat belajar ambruk dan perilakunya kurang terarah karena –misalnya—anak kecewa dengan sekolah barunya.


Pada kasus seperti ini, kita bisa menyalahkan jenjang pendidikan berikutnya. Tetapi sekolah sebelumnya, yakni SD, tetap ikut bertanggung-jawab atas kegagalannya membangun motivasi siswa. Keadaan ini bisa terjadi, antara lain karena pihak SD tidak bisa membedakan –atau sengaja tidak membedakan—antara kebiasaan belajar dan budaya belajar. Mirip sekali wujudnya, lain sekali hakekatnya.

Apa yang diperlukan untuk membangun motivasi intrinsik anak? Banyak hal. Yang sangat pokok adalah menanamkan keimanan yang aktif. Maksud saya, sekolah mengajarkan ‘aqidah kepada anak bukan hanya sebagai pengetahuan kognitif. Lebih dari itu, sebagaimana sifat ayat-ayat yang pertama diturunkan –secara umum ayat-ayat Makkiyah—menggerakkan mereka untuk bertindak karena Allah dan untuk Allah Yang Menciptakan. Sekolah mengge­rakkan jiwa anak-anak untuk meneguhkan diri bahwa shalatnya, ‘ibadahnya, hidupnya dan matinya hanya karena dan untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata.

Artinya, ‘aqidah yang kuat menjadi daya penggerak (driving force) bagi anak untuk bertindak dan menentukan arah hidup.

Agar guru mampu menanamkan keimanan yang aktif dengan ‘aqidah shahihah, tak dapat ditawar-tawar lagi ‘aqidah mereka juga harus kuat. Sedemikian kuatnya sehingga keti­ka berbicara, yang berkelebat dalam benaknya bukan sekedar teknik berbicara, tetapi sudah menyatu dalam dirinya kata-kata bertenaga yang menggelorakan motivasi anak-anak dan membakar semangat mereka untuk melakukan yang terbaik. Kata-kata ini mengalir setiap saat karena memang sudah menyatu dalam diri guru.

Di luar itu, secara terencana sekolah dapat mengadakan kegiatan yang secara khu­sus dimaksudkan untuk membangun motivasi anak, baik yang bersifat harian, mingguan, bu­lanan, tahunan atau berdasar rencana kegiatan insidentil. Motivasi harian misalnya diwujud­kan dalam bentuk kegiatan apel motivasi setiap pagi.

Selebihnya, guru perlu memberi tantangan yang cukup agar motivasi tersebut ter­tanam lebih kuat. Tanpa tantangan, anak tidak belajar hidup dalam “dunia nyata”. Apalagi jika mereka hanya kita besarkan dengan fasilitas, tanpa tantangan akan membuat mereka se­perti ayam sayur. Bukan ayam kampung yang tak jatuh oleh panas dan tak tersungkur oleh hujan.

Artinya, harus ada keseimbangan antara fasilitas dan tantangan. Awalnya tantang­an sederhana yang bersifat fisik, lalu secara berangsur kita hadapkan pada tantangan yang lebih memeras pikiran dan tenaga. Pada akhirnya, kita tumbuhkan pada diri mereka kepekaan untuk membaca tantangan bagi keyakinan dan ummat ini.

Wallahu a’lam bishawab.
Read More...

Pengumuman Penerimaan Guru Baru SD Integral Luqman Al Hakim Bojonegoro

1. Tes Tulis dilaksanakan pada :
Hari : Sabtu, 18 Desember 2010
Jam : 10.00 WIB s/d Selesai
Tempat : SDI Luqman Al Hakim Jl. Lisman 18 B Bojongoro

2. Materi Tes
a. Tes Administratif
b. Baca Tulis Al Qur'an ( Imla' dan Qiro'ah )
c. Tes Tulis ( Wawasan Keislaman dan Organisasi )
d. Tes Psikologi
e. Bahasa Inggris tertulis dan terucap ( Dectation and Speaking )
f. Mikro Teaching
- Using English
- Waktu 7 Menit
- Tema Bebas
- RPP
g. Wawancara

3. Penggumuman hasil Tes dapat di lihat di www.sdintegral.co.cc /
www.sdintegralbojonegoro.co.cc
satu hari setelah tes ( jam 09.00 WIB)
Read More...
 
Copyright (c) 2010 SD Integral Luqman Al Hakim Bojonegoro
Jl. Lisman 18 B Bojonegoro Telp (0353) 7705344,888025, Email :sdintegral@yahoo.com