Web Toolbar by Wibiya

Bersiaplah untuk kecewa

Posted on
  • 19 Desember 2010
  • by
  • SDI LUQMAN AL HAKIM BOJONEGORO
  • in
  • Label:
  • |Mohammad Fauzil Adhim|
    Ada kabar dari geoff colvin , editor senior di majalah Fortune, penulis sekaligus dosen ini menyuguhkan data mengejutkan dalam bukunya bertajuk Talen is overrated (2008). Buku tersebut menunjukan betapa kita terlalu berlebihan memuja-muja bakat dan kejeniusan padahal semuat itu nyaris tak memberi manfaat apa-apa utnuk bagi masa depan anak, baik meraih sukses maupun kebahagiaan.
    Bakat dan kejeniusan bukanlah kunci utama meraih sukses apapun bidang yang ia tekuni kunci paling pokok untuk meraih sukses bukan bakat besar maupun kejeniusan bukan pula keterampilan melakukan hal-hal yang diangap luar biasa oleh orang pada umumnya.banyak pebisnis maupun intelektual sukses yang IQ- nya rata-rata bukan superior apalagi jenius bahkan ada yang IQ sedikit dibawah rata-rata tetapi ia memiliki ketahanan mental yang luar biasa untuk belajar menghadapi kesulitan, termasuk hambatan fisik.
    Sebagian orang sukses memang memiliki tingkat kecerdasan diatas rata-rata dia benar-benar memiliki kemampuan intelektual yang bagus, bukan sekedar mampu mempertunjukkan kebolehan yang bersifat langka tetapi harus di catat bahwa mereka meraih sukses itu melallui kerja keras yang luar biasa hebat dalam belajar. Meraka gigih belajar dan berlatih takkala orang lain sudah terlelap. Kisah sukses imam syafi’i ra misalnya bukan terutama soal kecerdasan tetapi berkait erat dengan kemampuan belajar yang luar biasa sekaligus kesanggupan untuk menghadapi kesulitan. Ini menjadikan seoran imam syafi’i yang ketika itu masih kanak-kanak mampu bertahan untuk menyimak pelajaran dari luar keras disebabkan ia tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk belajar di dalam kelas sebagai mana anak lain. Kisah Imam bukhori mencari sebuah hadits adalah contoh lain tentang betapa berharganya kesediaan untuk menderita demi meraih apa yang di yakininya berharga ia rela menempuh perjalanan panjang yang sulit hanya untuk memperoleh sebuah hadits meskipun hadits itu akhirnya tidak ia perhitungkan karna ternyata lemah.
    Contoh lain anda tentu masih ingat kisah Billy Sidis yang saya sampaikan di majalah ini nama lengkapnya William James Sidis anak dari Prof. Dr.Boris Sidis orang yahudi yang menggagumi William James seorang ahli pysikologi. Secara intelektual Billy luar biasa cerdas IQ-nya 200 jauh diatas Albert Einstein usia 5 tahun sudah mampu menulis karya ilmiah tentang anatomi, usia 11 tahun kuliah di Harvard University unifersitas terkemuka di dunia yang terkenal dangan orang-orang cerdasnya dan pada usia 14 tahun memberi kuliah di unifersitas yang sama semua catatan ini menggukuhkanya sebagai anak jenius.
    Pertanyaanya apakah yang bisa didapat dari k ejeniusannya ia benar-benar anak jenius yang sempurna tetapi kejeniusannya itu tidak memberi manfaat apa-apa baginya. Ia mampu berfikir rumit dan memecahakan masalah-masalah akademis jauh melampui anak-anak seusiannya bahkan lebih unggul di banding orang d ewasa tapi perkembanggan sosial emosional dan komunikasinya tidak sejalan dengan kemampuan kognitifnya. Kemampuan intelektualnya yang luar biasa tidak mampu menolongya berprilaku secara lebih dewasa sesuai usianya inilah yang kemudian menjadi masalah besar dalam hidupnya sehingga ia memilih menarik diri dari dunia intelektual lalu bekerja tukang cuci piring di rumah makan sampai akhir hayatnya.
    Kasus Billy hanya salah satu anak saja. Anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, atau mereka hanya disibukkan dengan belajar secara akademik,cenderung menjadi pribadi yang matang dan rentan masalah jika mereka kurang memperoleh kesempatan berkembang secara alamiah. Kerentanan ini akan meningkat manakala anak-anak dipacu untuk menunjukkan prestasi yang bisa membanggakan orang tua atau melakukan yang bisa membangkitkan kebanggaan orang terhadapnya. Ia membuat anak sibuk melakukan hal-hal yang tampak luar biasa, meskipun sesungguhnya tidak penting bagi kehidupannya dimas kini maupun masa mendatang. Mungkin ia memang mampu menunjukkan prestasi tersebut(real achievement). Hanya saja yang diperlukan oleh seorang anak agat ia memiliki motivasi yang benar-benar kuat adalah prestasi yang sesungguhnya (true achivement). Begitu Janine walker Caffrey,Ed.D., menulis dalam bukunya yang berjudul Drive: 9 way to motivate your kids to achieve (2008).
    Jadi sekedar jenius tidak cukup. Apalagi jika yang terjadi sesungguhnya bukan kejeniusan, melainkan perilaku yang mengesankan sebagai jenius (play acting as genius). Permaian kesan ini muncul dari orang-orang yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, bisa juga pada mereka yang biasa-biasa saja. Tidak sedikit prilaku yang dibentuk oleh orangtua atau orang dewasa lainya pada anak, sehingga orang lain menganggap hebat. Sementara anak itu sendiri boleh jadi merasa dirinya hebat, boleh jadi mempunyai waham kebesaran (grandeur delusion-keyakinan tentang suatu isi pikiran yang tidak sesuaidengan kenyataan atau tidak sesuai dengan intelegensi dan latar belakang kebudayaan.) dan bisa anak sepenuhnya mengetahui bahwa ia tidak sehebat yang dilihat orang.
    Banyak peristiwa dalam sejarah yang menunjukkan upaya untuk mengesankan diri atau anak sebagai jenius. Wolfgang Amadeus Mozart pernah menyatakan bahwa ia menggubah kosentro sekali jadi. Tetapi kemudian diketahui bahwa ia menyusun sebuah kosentro bahkan dalam waktu bertahun-tahun. Bukan Cuma setahun, apalagi sekali jadi. Hanya saja ia berlatih keras dan pada waktu yang tepat ia seperti memperoleh ilham, lalu mempertunjukkan karya “sekali jadi” yang sudah ia susun bertahun-tahun itu.
    Ada juga, Miguel Najdorf, grand master catur Argentina keturunan Polandia, bermain catur dengan mata tertutup (blindfolded chess) secara simultan sebanyak 45 kali. Ia ingin menunjukkan sebagai orang jenius yang memiliki daya ingat yang sempurna. Ini terjadi pada tahun1947-jauh sebelum saya lahir. Sebelum itu master dari Czech, Ricard Reti yang melakukan permainan catur dengan cara yang sama secara simultan sebanyak 29 kali. Ia memiliki daya ingat yang sempurna. Tetapi di akhir pertandingan, ia lupa membawa pulang kopernya.
    Lebih penting dari itu semua, mereka tidak mampu menunjukkan kejeniusan tatkala diuji secara sistematis. Mereka mempertunjukkan kemampuan sebagai pembktian (proofing) atas”kejeniuasan” mereka. Tetapi mereka tidak mampu memberi bukti yang dapat diuji (evidences).
    Ini sama seperti anggapan bahwa musik menjadikan anak jenius. Tak ada bukti secara utuh mampu menunjukkan. Yang ada hanyalah, memperdengarkan musik saat belajar menjadikan emosi anak aktif. Tetapi ini tidak serta merta menjadikan anak lebih cerdas. Begitu pula memperdengarkan musik klasik pada bayi. Menukil dari Alex Ross, Colvin menulis “Orangtua yang ambisius dan sekarang ini sedang mempertontonkan video”Baby Mozart” kepada bayinya bisa kecewa tatkala mempelajari bahwa Mozart menjadi Mozart karena kerja keras yang luar biasa.” Nah.” ( kolom parenting Suara Hidayatullah Edisi Desember 2010)

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Silahkan beri komentar pada artikel ini?

     
    Copyright (c) 2010 SD Integral Luqman Al Hakim Bojonegoro
    Jl. Lisman 18 B Bojonegoro Telp (0353) 7705344,888025, Email :sdintegral@yahoo.com