Web Toolbar by Wibiya

Akademik


akademik
Read More...

psb


psb
Read More...

AYO SEMANGAT

ayo semangat dong sd lukman al hakim!
Read More...

Puisi Muhammad Abduh

Di jalan ini tiada tempat berhenti.Mereka yang bergerak merekalah yang di depan. Yang menunggu sekalipun, pasti akan tergilas
Read More...

Workshop Pengembangan Kurikulum Baru


Untuk menyiapkan guru-guru yang prfesional dan bertanggung jawab serta menyipakan kurikulum baru pada tahun ajaran baru besok. Kepala sekolah dan dua Ustadah di kirim dalam acara "Workshop Pengembangan kurikulum Baru " yang diadak oleh tim ICP Malang. Acara ini merumuskan berbagai aturan-aturan baru yang berkaitan dengan program ICP yang terbaru.
Read More...

Lomba mading



Dalam memperingati Hari Pendidikan Nasioanal yang jatuh pada tanggal 2 mei. SD Integral Luqman Al Hakim pada tanggal 17 Mei 2011 mengadakan kegiatan lomba MADING yang bertemakan "Hari Pendidikan Nasional". Acara ini diikuti oleh semua siswa-siswi mulai kelas 1 sampai kelas 6. Lomba mading ini di juarai oleh kelas 3A, juara II kelas 5, juara III kelas 1A. Dalam acara ini para siswa berkreasi tentang pengetahuan mereka tentang hari pendidikan nasional.
Read More...

Study Tour 2011



Dalam kegiatan ini sebelumnya para siswa/siswi menginap di sekolah dengan acara bakar jagung bersama-sama. kemudian pada malamnya melaksanakan sholat tahajud yang di pimpin oleh Ust. Rifa'i. setelah selesai sholat tahajud para siswa berangkat menuju Bus yang sudah di sewa guna menuju tempat study Tour 2011 di malang tepatnya di "Jatim Park". setalah samapai di jatim park para siswa antusias belajar tentang sejarah indonesia,sejarah uang, sejarah kerajaan, fosil binatang purba dll. kemudian di lanjutkan ke permainan yang ada di Jatim park.
Read More...

Membangun Kepercayaan Murid kepada Guru



Oleh Mohammad Fauzil Adhim

TRUST –Kepercayaan adalah unsur paling penting yang harus ada dalam hu-bungan murid dengan guru. Jika murid tidak memiliki kepercayaan yang bulat dan mendalam kepada gurunya, maka sebaik apa pun ke¬mampuan guru menguasai materi, tak akan berpengaruh banyak pada keberhasilan pendidik¬an. Murid mungkin menguasai mata pelajaran dengan baik, tetapi ia tidak berhasil membangun jiwanya. Kualitas pribadinya tidak berkembang dan ketaatannya pada nilai-nilai yang dibangun oleh guru hanya berlaku selama guru tersebut masih memiliki kepribadian.

Agar anak-anak yang mewarisi masa depan ini mampu menjadi pemimpin yang mendasarkan pada kebenaran, bertumpu pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kepercayaan yang mutlak, mereka harus memperoleh pengalaman pendidikan yang di dalamnya terdapat iklim kepercayaan yang kuat terhadap guru. Mereka kita siapkan dalam lingkungan yang memiliki penghormatan dan adab yang tinggi terhadap guru.
Menancapnya kepercayaan yang kuat dalam dada setiap murid –bukan sekadar siswa— akan melahirkan dorongan untuk melihat, mendengar, meniru, dan menghayati setiap tutur dan perilaku guru. Mereka memiliki sikap positif terhadap guru, mencintainya dan menjadikannya sebagai figur teladan. Jika guru mengembangkan hubungan yang hangat dan empatik, maka para murid akan mengarahkan diri mereka masing-masing untuk siap memerhatikan dan mematuhi setiap yang mereka dengar dari gurunya.
Itu berarti, sekiranya guru tidak memiliki keterampilan mengajar yang memadai, sementara kualitas pribadi sebagai figur yang layak diteladani dan dipercaya mampu menjalin kedekatan emosi dengan murid, maka proses pembelajaran dan pendidikan akan tetap berlangsung efektif. Kata-kata guru akan tetap berpengaruh kuat pada diri murid meski suara mereka lemah dan cara penyampaiannya tidak atraktif.
Artinya, mengajar (ta’lim) sebagai proses transfer ilmu hanya bagian permukaan dari keseluruhan kegiatan mendidik di sekolah.

Jika ini terjadi, insya Allah, guru mampu mengelola para muridnya di kelas secara mandiri dan efektif. Tidak perlu dua orang guru untuk mengelola satu kelas yang terdiri dari 40-50 orang murid di dalamnya, sekalipun untuk SD kelas bawah.

Apa jumlah murid sebanyak itu tidak menciptakan keributan? Jawabnya sederhana. Jika kelas tidak efektif, 24 murid dengan 2 guru sekalipun tetap menghasilkan kegaduhan. Sebaliknya kelas besar yang efektif akan menciptakan iklim pembelajaran yang sangat kondusif dan dinamis. Chua Chu Kang, sebuah sekolah dasar di Singapura menerapkan pembelajaran kelas besar dan hasilnya… luar biasa, baik dari segi karakter maupun kompetensi.

Artinya, bukan rasio guru-murid yang menjadi faktor penentu utama keberhasilan kelas. Rasio guru-murid 1:10 tidak menunjukkan kualitas apa pun bagi sebuah sekolah jika guru tidak memiliki kemampuan dipercaya (trustworthiness) yang tinggi dan kualitas hubungan yang hangat. Sama seperti laboratorium bahasa atau komputer, kehadirannya tidak serta merta menjadikan sekolah memiliki kualifikasi tinggi jika perubahan fisik tidak disertai dengan perubahan paradigma dan cara berpikir.

Itu sebabnya, perlu kerjasama yang baik antara guru dan orangtua agar setiap murid memiliki tingkat kepercayaan (trust) tinggi pada guru. Sebagaimana murid, para orangtua juga harus menjalani, menghormati dan menjaga adab sebagai orangtua murid terhadap guru selaku murabbir ruh (pendidik dan penata jiwa) serta sekolah sebagai lembaga yang menyiapkan para murid untuk menjadi orang yang berilmu, gemar mencari ilmu, suka beramal shalih dan memiliki rasa tanggung-jawab untuk senantiasa mengingatkan saudaranya agar menetapi kebenaran. Apa pun yang dilakukan oleh guru dan sekolah, orangtua tidak boleh protes dan menunjukkan celaan di hadapan anaknya. Sebaliknya, orangtua justru harus menjadi penengah yang membantu anak memahami guru dan sekolah, atau memberi perspektif positif pada diri anak dalam memandang guru maupun sekolah.

Ini bukan berarti tak ada jalan bagi orangtua untuk memperbaiki dan bahkan mengoreksi guru secara total –jika memang harus terjadi. Tetapi upaya untuk mengingatkan, menasihati dan memperbaiki guru maupun sekolah harus dilakukan dengan cara yang santun, menjaga kredibilitas guru dan sekolah, serta memerhatikan waktu dan tempat yang tepat. Dalam hal ini, sekolah bisa memfasilitasi dengan menyediakan forum dan sarana bagi orangtua untuk menyampaikan kritik, teguran dan masukan.

Nah.
Jika orangtua harus menjaga tingkat kepercayaan anak terhadap guru, maka guru pun memiliki tugas untuk menumbuhkan kecintaan, kepercayaan, ketaatan dan penghormatan terhadap orangtua pada diri setiap murid. Upaya ini, insya Allah, jauh lebih efektif dibanding jika masing-masing menyibukkan diri untuk mengingatkan murid agar menghormati diri. Perintah guru agar anak menghormati orangtua jauh lebih didengar daripada perintah untuk menghormati guru itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, iklim penghormatan terhadap guru yang berkembang di rumah lebih mudah membangkitkan kepercayaan dan ketaatan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Menghargai, menyambut dengan hangat ujaran dan nasihat, bergairah dan menghormati gagasan dan pendapat guru merupakan pilar kedua keberhasilan pendidikan di sekolah. Kita lebih mudah menerima, menyerap, mencerna, dan memahami apa yang diajarkan kepada kita apabila ada rasa hormat yang amat dalam pada diri kita terhadap sang pengajar, yakni guru.

Itu berarti, sebelum berbincang tentang kompetensi guru atas materi yang diajarkan serta keterampilan dalam mengajarkan di kelas, kita harus lebih dulu membangun sikap hormat pada setiap diri murid. Jika iklim penghormatan terhadap guru muncul, insya Allah, akan mudah bagi sekolah untuk menumbuhkan dua iklim berikutnya, yakni motivasi dan belajar. Artinya, motivasi sudah merupakan bagian dari iklim sekolah. Bukan hanya kegiatan yang dilakukan pada waktu tertentu.

Tumbuhnya iklim penghormatan (respect climate) di sekolah menjadikan pembelajaran di kelas maupun luar kelas sebagai proses yang menyenangkan. Ada keinginan yang kuat pada diri murid untuk secara terus menerus menemukan pengalaman belajar. Mereka juga belajar membangun kompetensi personal berupa kemampuan menghargai diri, menilai diri, mengendalikan diri, serta menghargai orang lain. Jika suasana ini berkembang secara berkesinambungan, maka setiap murid dapat menjadi penguat bagi murid lain. Di sinilah gairah belajar yang sesungguhnya akan tercipta. Di sinilah pembelajaran yang mandiri akan terbangun.
Pada tingkat ini, keterampilan mengajar yang kurang memadai menjadi ”tidak terlalu mengganggu”. Tentu saja bukan berarti guru boleh mengabaikan aspek ini. Justru sebaliknya, guru harus terus- menerus mengembangkan kemampuan mengajar agar lebih komunikatif. Ingat, salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah tabligh (komunikatif) .

Nah, aspek yang sangat menentukan bagi tumbuhnya sikap respect murid terhadap guru adalah kepercayaan yang bulat. Ini berarti, menumbuhkan rasa hormat murid terhadap guru harus berbarengan dengan upaya membangun kepercayaan. Secara terus menerus kita perlu membangun dan menjaganya, meski guru tersebut sudah tidak lagi mengajar anak-anak kita.

Terakhir, adalah ikatan emosi antara murid dan guru. Ruang kelas yang bisa kita sediakan bagi murid-murid kita mungkin tak begitu nyaman. Tapi bila terdapat hubungan emosi yang sangat hangat dan kuat, maka apa pun bentuk ruangan kelasnya, pembelajaran akan senantiasa terasa menyenangkan. Wallahu a’lam bishawab.
* SUARA HIDAYATULLAH, MARET 2009
Read More...

Ajak Mereka Mengenali Sesama


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Kepedulian tidak lahir dari banyaknya pengetahuan tentang penderitaan orang-orang yang lemah tak berdaya (dhu’afa). Kepedulian kepada sesama akan muncul dari dekatnya anak dengan orang lain, terutama yang memiliki kedekatan nasab, tempat tinggal maupun persahabatan. Jika anak bergaul dengan orang lain, kepekaan sosial akan mudah tumbuh pada dirinya. Kepekaan inilah yang akan memunculkan kepedulian.

Maka…, apakah yang bisa kita harapkan. Dari sekolah-sekolah yang mengajari muridnya dari pagi sampai sore di sekolah, jika mereka tidak dibiasakan untuk bergaul dengan masyarakat? Anak-anak itu memerlukan kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar maupun teman sebaya agar kepekaan sosialnya tumbuh.

Selain itu, pergaulan yang alamiah dengan orang lain diperlukan agar mereka memiliki keterampilan sosial. Melalui pergaulan, anak-anak bisa belajar berempati kepada penderitaan orang-orang yang ia jumpai.
Tetapi kesempatan untuk bergaul dengan orang lain tidak dengan sendirinya menjadikan anak memiliki kepekaan sosial. Ini berarti, selain memberi kesempatan yang memadai untuk bergaul dengan orang lain yang sebaya maupun yang berbeda jauh usianya, anak-anak juga perlu memperoleh dorongan dari sekolah maupun orangtua agar bergaul dengan baik dan memberi manfaat bagi orang lain.

Ini berarti, selain lingkungan yang kondusif, mereka juga memerlukan lingkungan yang suportif. Kondusif berarti lingkungan merangsang anak untuk bergaul dengan orang lain. Sementara suportif berarti ada dorongan secara langsung dari lingkungan terhadap anak.

Tentang berkunjung (ziarah), ada sebuah Hadits yang perlu kita simak:
”Ada seorang lelaki yang hendak menziarahi saudaranya di sebuah desa. Allah mengutus malaikat untuk mengikutinya. Kemudian malaikat bertanya, ‘Akan pergi kemanakah engkau?’ Orang itu berkata, ‘Aku ingin menemui saudaraku di desa ini.’ Malaikat bertanya lagi, ‘Apakah engkau mengharap pemberiannya?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak. Aku hanya mencintainya karena Allah.’” (Riwayat Muslim).
Ketika kita mengunjungi saudara kita karena Allah, kata Najib Khalid Al-’Amir, pada saat itu pula kecintaan kita akan bertambah. Lebih lanjut penulis buku Min Asaalibir Rasul SAW Fit Tarbiyyah menuturkan bahwa saling mengunjungi dalam mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) merupakan cara untuk mengukuhkan jalinan cinta dan persatuan.

Selain itu, berkunjung merupakan kesempatan untuk mengembangkan wawasan dan tukar menukar pengalaman. Tetapi yang paling pokok adalah, kita perlu beri dorongan kepada anak-anak sekaligus memberi pengalaman kepada mereka untuk berkunjung semata karena mengharap ridha Allah SWT. Kita ajak mereka untuk mengunjungi saudaranya seiman dalam rangka memuliakan tuntunan Allah SWT. Bukan karena mengharap dunia. Justru sebaliknya, kita perlu mengasah kepekaan anak-anak itu untuk berbagi dan menolong sesama.

Jika anak-anak –juga kita— mengunjungi saudaranya semata dalam rangka silaturahim, insya Allah setiap langkah akan bermakna. Tak ada yang menimbulkan kekecewaan karena tak ada yang diharap dari pertemuan-pertemuan itu selain ridha Allah ’Azza wa Jalla. Tak ada rasa kehilangan. Nothing to loose. Tak ada rasa kecewa terhadap apa yang kita peroleh. Kalau ada rasa sedih, kita sedih karena melihat keadaan saudara kita sehingga ingin betul rasanya untuk membantu dan memperbaiki. Bukan sedih karena tak memperoleh apa yang diharapkan dari dunia yang dimiliki oleh saudara kita; apakah dunia itu berbentuk harta, kesempatan untuk memperoleh kemudahan atau bentuk lainnya. Dalam keadaan seperti inilah, hubungan antar sesama akan terasa lebih tulus, sehingga menolong sesama tidak terasa sebagai beban.

Menolong Perlu Ilmu
Dorongan untuk menolong akan muncul jika anak memiliki kepekaan. Tetapi kepekaan tanpa dasar ilmu yang jelas, tidak membantu anak untuk mengerti apa yang harus dilakukan. Tidak pula mengerti apakah yang dilakukan berada dalam koridor kebenaran menurut dien atau tidak. Sementara benar tidaknya perbuatan kita, meskipun dilakukan dengan niat yang baik, sangat menentukan nilai perbuatan tersebut di hadapan Allah SWT.

Ini berarti, perlu ada tiga hal. Pertama, bekal ilmu tentang betapa pentingnya membantu sesama Mukmin, dari yang bersifat sunnah hingga wajib. Kedua, memberi dorongan dan membangkitkan kecintaan pada diri anak untuk senantiasa berbuat baik, melakukan hal-hal yang bermanfaat, bersungguh-sungguh dalam kebaikan dan terus-menerus memperbaiki diri. Ini disampaikan melalui berbagai kesempatan, baik secara langsung kita sampaikan kepada anak maupun melalui ungkapan-ungkapan spontan serta memperdengarkan pada anak anjuran berbuat baik yang kita sampaikan kepada orang lain.

Ketiga, melibatkan anak dalam bergaul dengan orang lain sehingga mereka mampu berkomunikasi, menyesuaikan diri, memahami orang lain, menahan diri, dan merangsang kepekaan terhadap kebutuhan orang lain. Dan pada akhirnya merangsang mereka untuk cepat tanggap terhadap apa-apa yang penting bagi orang lain.
Tanpa memiliki kepekaan dan kemampuan untuk tanggap terhadap kebutuhan orang lain, sulit rasanya anak-anak itu akan meringankan kakinya menolong sesama.

Adapun menolong orang lain, awalnya adalah empati. Ini bisa tumbuh dari kedekatan anak dengan orang lain. Sesudah itu mengenali kebutuhan orang lain, kepekaan tentang apa yang harus ia lakukan, hasrat untuk berbuat, niat yang bulat untuk menolong, lalu beranjak ke tekad yang kuat untuk melakukan apa yang menjadi niatnya. Ini pun masih memerlukan satu hal lagi: kecakapan memberi pertolongan. Tanpa keterampilan menolong, niat yang bulat bisa kandas karena tak bisa berbuat.

Tahapan dari empati sampai keterampilan menolong ini perlu kita perhatikan agar anak-anak bisa menetapi apa yang telah diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam (SWA). Mari kita ingat ketika Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang Mukmin adalah saudara bagi Muslim yang lain. Di antara mereka tidak boleh terdapat sikap saling menganiaya dan saling membiarkan. Barangsiapa yang membantu urusan duniawi saudaranya, Allah ’Azza wa Jalla akan menolongnya pada hari kiamat nanti. Dan barangsiapa yang membebaskan seorang Muslim dari kesulitan duniawi, Dia akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat.” (Riwayat Ahmad).

Berpijak pada Hadits ini, sudah saatnya kita menggerakkan hati anak untuk senantiasa gelisah terhadap penderitaan dan kesulitan orang lain. Kita dorong mereka untuk menolong sesama tanpa mengharap balasan dan imbalan. Sikap saling menolong justru akan muncul apabila setiap anak memiliki keinginan yang kuat untuk menolong tanpa mengharap balasan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Ini belum cukup. Selain kepekaan dan kesigapan untuk menolong, seorang Mukmin tidak boleh saling menganiaya dan saling membiarkan. Wajib kita mengingatkan ketika ada yang berbuat zalim. Lebih-lebih jika yang melakukan kezaliman adalah pemimpin umat ini, dalam lingkup kecil maupun besar. Ini pula yang harus kita ajarkan kepada anak kita.

Semoga kita kelak bisa melihat anak-anak yang dadanya dipenuhi kasih-sayang, tangannya kokoh menegakkan kebenaran dan sikapnya tegas memegang prinsip. Semoga pula anak-anak kita menjadi pengantar kita masuk ke surga-Nya yang tertinggi. Allahumma amin. SUARA HIDAYATULLAH DESEMBER 2008
Read More...

Tiga Bekal Mengasuh Anak


Oleh Mohammad Fauzil Adhim

Apakah doa-doa kita telah cukup untuk mengantar anak-anak menuju masa depan yang menenteramkan? Apakah nasehat-nasehat yang kita berikan telah cukup untuk membawa mereka pada kehidupan yang mulia? Ataukah kita justru merasa telah cukup memberi bekal kepada anak-anak kita dengan mengirim mereka ke sekolah-sekolah terbaik dan fasilitas yang lengkap? Kita telah merasa sempurna sebagai orangtua karena bekal ilmu telah melekat kuat dalam diri kita.

Hari-hari ini, ada yang perlu kita renungkan. Betapa banyak ahli ibadah yang keturunannya jauh dari munajat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tak ada anak yang mendoakannya sesudah kematian datang. Begitu pula, alangkah banyak orangtua yang nasehatnya diingat dan petuahnya dinanti-nanti ribuan manusia. Tetapi sedikit sekali yang berbekas dalam diri anak. Padahal tak ada niatannya untuk melalaikan anak sehingga lupa memberi nasehat.

Ah, rasanya kita masih banyak menemukan paradoks yang susah untuk dibantah. Ada orang-orang yang tampaknya kurang sekali kemampuannya dalam memilih kata, tetapi anak-anaknya mendengarkan nasehatnya dengan segenap rasa hormat. Ada orangtua yang tampak sekali betapa kurang ilmunya dalam pengasuhan, tetapi ia mampu mengantarkan anak-anaknya menuju masa depan yang terarah dan bahagia.

Tak ada yang ia miliki selain pengharapan yang besar kepada Allah ‘Azza wa Jalla, seraya harap-harap cemas dikarenakan kurangnya ilmu yang ia miliki dalam mengasuh anak. Sebaliknya, ada orangtua yang begitu yakinnya bisa mendidik anak secara sempurna. Tapi tak ada yang bisa ia banggakan dari anak-anak itu di masa dewasa, kecuali kenangan masa kecilnya yang lucu menggemaskan.

Agaknya, ada yang perlu kita tengok kembali dalam diri kita, sudahkah kita memiliki bekal untuk mengasuh anak-anak itu menuju masa dewasa? Tanpa menafikan bekal lain yang kita perlukan dalam mengasuh anak, terutama yang berkait dengan ilmu, kita perlu merenungi sejenak firman Allah Ta’ala:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisaa’ [4]: 9)

Mujahid menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan permintaan Sa’ad bin Abi Waqash tatkala sedang sakit keras. Pada saat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam datang menjenguk, Sa’ad berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku boleh menginfakkan dua pertiga dari hartaku?”

Rasulullah bersabda, “Tidak boleh.”

“Separo, ya Rasul?”

“Tidak,” jawab Rasul lagi.

“Jika sepertiga, ya Rasul?”

Rasul mengizinkan, “Ya, sepertiga juga sudah banyak.” Rasulullah kemudian bersabda, “Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang lain.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Berpijak pada ayat ini, ada tiga pelajaran penting yang perlu kita catat. Betapa pun inginnya kita membelanjakan sebagian besar harta kita untuk kepentingan dakwah ilallah, ada yang harus kita perhatikan atas anak-anak kita. Betapa pun besar keinginan kita untuk menghabiskan umur di jalan dakwah, ada yang harus kita periksa terkait kesiapan anak-anak dan keluarga kita.

Sangat berbeda keluarga Umar bin Khaththab dan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhuma dengan keluarga sebagian sahabat Nabi lainnya. Umar menyedekahkan separo dari hartanya, sedangkan Abu Bakar tidak meninggalkan untuk keluarganya kecuali Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya. Dan Rasulullah mengizinkan sekaligus menyambut baik amal shaleh keduanya.

Lalu, bagaimanakah dengan keluarga kita?Kembali kepada pada perbincangan awal kita. Ada tiga bekal yang perlu kita miliki dalam mengasuh anak-anak kita.

Pertama, rasa takut terhadap masa depan mereka. Berbekal rasa takut, kita siapkan mereka agar tidak menjadi generasi yang lemah. Kita pantau perkembangan mereka kalau-kalau ada bagian dari hidup mereka saat ini yang menjadi penyebab datangnya kesulitan di masa mendatang.

Sesungguhnya, di antara penyebab kelalaian kita menjaga mereka adalah rasa aman. Kita tidak mengkhawatirkan mereka sedikit pun, sehingga mudah sekali kita mengizinkan mereka untuk asyik-masyuk dengan TV atau hiburan lainnya. Kita lupa bahwa hiburan sesungguhnya dibutuhkan oleh mereka yang telah penat bekerja keras. Kita lupa bahwa hiburan hanyalah untuk menjaga agar tidak mengalami kejenuhan.

Hari ini, banyak orang berhibur bahkan ketika belum mengerjakan sesuatu yang produktif. Sama sekali!

Kedua, takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Andaikata tak ada bekal pengetahuan yang kita miliki tentang bagaimana mengasuh anak-anak kita, maka sungguh cukuplah ketakwaan itu mengendalikan diri kita. Berbekal takwa, ucapan kita akan terkendali dan tindakan kita tidak melampaui batas. Seorang yang pemarah dan mudah meledak emosinya, akan mudah luluh kalau jika ia bertakwa. Ia luluh bukan karena lemahnya hati, tetapi ia amat takut kepada Allah Ta’ala. Ia menundukkan dirinya terhadap perintah Allah dan rasul-Nya seraya menjaga dirinya agar tidak melanggar larangan-larangan-Nya.

Ingin sekali saya berbincang tentang perkara takwa, tetapi saya tidak sanggup memberanikan diri karena saya melihat masih amat jauh diri saya dari derajat takwa. Karena itu, saya mencukupi pembicaraan tentang takwa sampai di sini. Semoga Allah Ta’ala menolong kita dan memasukkan kita beserta seluruh keturunan kita ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa. Allahumma amin.

Ketiga, berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadidan). Boleh jadi banyak kebiasaan yang masih mengenaskan dalam diri kita. Tetapi berbekal takwa, berbicara dengan perkataan yang benar akan mendorong kita untuk terus berbenah. Sebaliknya, tanpa dilandasi takwa dan berbicara dengan perkataan yang benar, dapat menjadikan diri kita terbiasa mendengar perkara yang buruk dan pada akhirnya membuat kita lebih permisif terhadapnya. Kita lebih terbiasa terhadap hal-hal yang kurang patut.

Karenanya, dua hal ini harus kita perjuangkan agar melekat dalam diri kita. Dua perkara ini, takwa dan berbicara dengan perkataan yang benar kita upayakan agar semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sekiranya keduanya ada dalam diri kita, maka Allah akan baguskan diri kita dan amal-amal kita.

Allah Ta’ala berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab [33]: 70-71)

Marilah kita untuk selalu tafakur ilallah agar kita selalu dalam hidayah-Nya.* SUARA HDIAYATULLAH-OKTOBER 2010
Read More...

Perlu Alasan Untuk Belajar



Apa yang membuat kita mau berusaha lebih gigih untuk meraih sesuatu? Macam-macam. Banyak hal yang bisa menggerakkan kita untuk bertindak lebih serius. Tak peduli suka atau tidak, kita bersungguh-sungguh mengerjakannya.

Apa yang menjadikan kita bersedia meluangkan waktu lebih banyak dan belajar lebih keras? Sama juga. Ada berbagai faktor yang bisa memaksa kita untuk menekuni sesuatu dan mengabaikan yang lainnya. Sebagaimana ada banyak alasan yang bisa menggairahkan kita untuk bertekun-tekun mengkaji sesuatu. Karena takut, kita bisa bersungguh-
sungguh melakukan sesuatu agar terhindar dari bahaya yang mengancam. Karena tekanan, kita bisa bertahan untuk melakukan apa yang tidak kita sukai. Atau karena suka, kita bisa lupa waktu bahwa malam sudah beranjak mendekati pagi. Kita masih asyik membuka-buka buku yang sudah tiga atau empat kali kita nikmati.

Sebagaimana kita, anak-anak melakukan sesuatu juga karena satu alasan. Harus ada yang menjadi penggerak; sebuah alasan mengapa ia harus melakukan sesuatu dan mewujudkan tujuannya. Jika kita membangkitkan dalam diri mereka satu alasan yang kuat, mereka akan belajar dengan sangat serius dan sungguh-sungguh, meskipun kita sedang tertidur lelap. Tetapi jika kita berangkat dari pertanyaan apa yang membuat mereka belajar, maka kita akan sibuk untuk terus-menerus menyuruh atau menyediakan apa yang bisa menggerakkan mereka untuk belajar: terpaksa atau tidak. Bukan berarti kita tidak perlu bertanya apa yang membuat mereka belajar, tetapi pertanyaan ini seharusnya ada setelah kita menumbuhkan dalam diri anak-anak itu alasan mengapa mereka perlu bersungguh-sungguh memeras keringat mereka untuk mencari ‘ilmu dan menanamkan kebanggaan terhadapnya; bangga menjadi orang yang rela lecet kakinya untuk mengejar ilmu.

Menumbuhkan Sikap Belajar
Jika anak-anak memiliki alasan yang kuat untuk belajar, maka usaha untuk membuat mereka nyaman belajar akan mendorong mereka lebih bergairah menyerap ilmu. Keterampilan belajar kita bangun sesudah sikap belajar tumbuh dalam diri anak didik kita. Ini berarti menumbuhkan sikap belajar jauh lebih mendesak daripada kemampuan memahami pelajaran, terutama untuk siswa SD kelas bawah. Sikap belajar yang positif akan membangkitkan antusiasme. Inilah yang menjadikan anak senang belajar. Mereka belajar karena mereka ingin melakukannya. Bukan karena ancaman.

Pertanyaannya, bukankah tanpa ancaman anak-anak cenderung malas belajar? Hemm…. Ancaman memang bisa membuat mereka belajar asalkan rasa takut itu masih ada. Tetapi ketika sudah terbiasa, mereka tak lagi bersedia membuang-buang waktu untuk menyimak buku-buku pelajaran. Akibatnya, kita perlu memberi ancaman yang lebih besar agar mereka bersedia belajar.

Tekanan yang kita berikan kepada mereka juga dapat menjadikan anak-anak lebih tekun belajar. Apalagi jika ada unsur penguat, misalnya mengulang di kelas 6 bersama adiknya jika tidak lulus UASBN. Tetapi segera setelah tekanan itu berlalu, kesediaan mereka untuk belajar akan hilang. Lebih-lebih jika kita sendiri sudah tidak terlalu peduli apakah mereka belajar atau tidak, kesediaan mereka belajar akan lebih merosot lagi. Padahal, kesediaan untuk belajar sangat berbeda dengan kemauan. Mau belajar tidak sama dengan kemauan untuk belajar.

Di luar itu, hilangnya kepedulian kita terhadap kegiatan belajar anak tatkala tidak menghadapi ujian juga menunjukkan bahwa kita sendiri tidak mempunyai cukup alasan kenapa belajar itu penting. Padahal, alasan mengapa (the reason why) perlu belajar jauh lebih penting daripada apa yang bisa menjadikan anak mau belajar. Yang pertama membangkitkan kemauan belajar, sedangkan yang kedua hanya menjadikan mereka mau belajar. Bukan kemauan. Ini berarti, mereka akan segera meninggalkan kegiatan membosankan ini apabila ujian sudah berlalu atau ujian dirasa masih jauh. Sementara ketika ujian sudah dekat, mereka menghadapi stress yang cukup berat.

Lalu, apa yang bisa kita simpulkan jika ternyata stress dan pola belajar keras hanya ketika menghadapi ujian juga dianut oleh guru dan sekolah? Sederhana sekali. Pola ini dengan jelas menunjukkan bahwa sekolah sendiri tidak menaruh perhatian pada pembentukan budaya belajar. Sekolah hanya memperhatikan materi ujian dan prestasi akademik yang bahkan lebih layak disebut kemampuan kognitif semata.

Apa yang terjadi kemudian, bisa kita ramalkan dengan mudah. Tanpa alasan yang kuat, sekolah akan sibuk dengan stress tahunan. Setiap menjelang ujian, tiga atau empat bulan sebelumnya, ada stress massal yang terjadi pada guru, siswa, dan wali siswa. Uniknya, stress massal ini terus-menerus mencengkeram dari tahun ke tahun tanpa ada usaha berarti untuk mengubahnya menjadi gairah. Seakan sudah menjadi suratan takdir. Paling-paling, alih-alih menemukan akar masalahnya dan menyelesaikannya dengan tuntas, kita justru sibuk menyalahkan UASBN – UAN. Padahal, tak ada yang perlu dicemaskan jika anak-anak kita sudah memiliki budaya belajar yang kuat. Mereka memang tidak menjadikan sukses UAN sebagai tujuan, tetapi gairah belajar mereka yang kuat dengan sendirinya menjadikan UAN tak lagi menakutkan.

Pertanyaannya, bagaimana cara menyuntikkan alasan yang kuat dalam diri anak-anak sehingga mereka berhasrat belajar? Cara paling sederhana adalah memotivasi. Bukan sekedar menyemangati. Ada dua pendekatan motivasi yang perlu kita pahami agar bisa memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, yakni motivasi lembut (soft motivation) dan motivasi keras (hard motivation). Yang pertama, menitikberatkan pada penghayatan nilai-nilai hidup melalui dialog antara pendidik dan anak-anak.

Salah satu cara untuk menumbuhkan orientasi hidup yang baik dalam diri anak adalah dengan sering mengajak mereka berpikir tentang apa yang ingin mereka perbuat bagi umat dan agama ini kelak ketika mereka dewasa. Kita memberi rangsangan kepada mereka agar memiliki tekad yang kuat untuk berbuat baik. Keinginan berbuat itulah yang menjadi orientasi hidupnya sekaligus cita-citanya di masa dewasa. Bukan sekadar menjadi apa.

Motivasi lembut memang lebih lambat prosesnya. Tetapi ia lebih kuat pengaruhnya, bisa dilakukan setiap orang, dan tidak memerlukan kemampuan vokal yang bagus. Sedangkan motivasi keras, lebih cepat kelihatan hasilnya sekaligus relatif cepat luntur. Tak menunggu waktu lama untuk melihat pengaruhnya. Belum selesai kegiatan motivasi diberikan, kita sudah bisa melihat betapa terpengaruhnya mereka. Airmata sudah tumpah, tangan sudah mengepal, dan dada mereka sudah menggelegak dengan semangat yang berkobar-kobar. Tekad besar seketika muncul. Kesulitan harus ditaklukkan sekarang juga!!!

Ini bukan berarti tak ada tempat bagi motivasi keras. Ibarat shalat, ada yang perlu seremoni semisal shalat Jumat. Bahkan ada yang perlu seremoni lebih banyak lagi seperti shalat ‘Ied. Tetapi pilar utamanya tetap shalat lima waktu setiap harinya.

Motivasi juga demikian. Kegiatan motivasi yang menggunakan seremoni sekali waktu bisa saja kita selenggarakan untuk menggugah lebih cepat dan menggerakkan lebih dahsyat. Tetapi yang jauh lebih penting adalah motivasi sehari-hari, meskipun namanya bukan motivasi. Kita perlu senantiasa mengingatkan, menumbuhkan dan merawat niat anak didik kita dalam belajar.

Inilah yang perlu diingat oleh para guru. Setiap hari kita perlu menggerakkan hati anak didik kita sebelum memberi pelajaran kepada mereka. Hati yang mengingini akan mudah menerima pengetahuan yang diajarkan. Sebaliknya otak cerdas tanpa keinginan yang cukup, membuat pelajaran yang sederhana pun mudah mereka lupakan.

Kuatnya keinginan terhadap ilmu mendorong kita untuk lebih bersemangat memahami, mengkaji dan mewujudkan. Bukan sekadar mengingat sesaat dan tak berselang lama sudah lupa kembali.
Agaknya, ada yang perlu kita pikirkan berkait dengan pendidikan anak-anak kita di sekolah. Ada alasan yang perlu kita bangun dalam diri anak-anak kita untuk belajar lebih serius, lebih gigih dan lebih bersemangat. Sebuah alasan yang benar-benar mendasar.
Bagaimana…? SUARA HIDYATAULLAH APRIL 2010
Read More...

Beri Kepercayaan dan Jangan Pernah Tertawakan

Kedua anak saya sudah menanti waktu pertunjukan Mr Hayes yang akan mematahkan 100 balok kayu dalam waktu 10 detik. Mr. Hayes pemilik sekaligus guru taekwondow mereka di ATA Black Belt Academy.

Akhirnya jam 10 pagi, kami sekeluarga berangkat menuju tempat taekwondow mereka yang jauhnya 1 mile, tidak sampai 5 menit sudah sampai. Sesampai di sana sudah banyak teman-teman mereka yang hadir lengkap dengan seragam taekwondo, atas-bawah putih dengan sabuk berwarna sesuai tingkatan kemampuan anak. Anak-anak saya tidak memakai seragam karena niatnya hanya mau menonton Mr Hayes saja.

Saat memasuki kelas, kedua anak saya diminta bergabung dengan anak-anak yang lain untuk duduk di tempat latihan menonton video Power Kiz. Film tersebut bercerita tentang pertahan diri untuk anak-anak. Bagaimana jika mereka didekati orang tidak dikenal. Bagaimana melawan orang yang menangkap mereka, juga praktek langsung jika berhadapan dengan orang jahat. Anak berlatih memukul bagian hidung, leher, mata dan telinga orang jahat tersebut.

Setelah menonton film tersebut lalu ada atraksi anak-anak yang sudah sabuk hitam. Mematahkan papan kayu, menendang, lalu bermain dengan senjata. Saya perhatian anak-anak tersebut terlihat memiliki kepercayaan diri yang tinggi saat melakukan pertunjukan tersebut.

Sebenarnya itulah tujuan utama saya memasukan anak-anak ke ATA, agar mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Sehingga mereka tidak takut menghadapi tantangan dalam kehidupan. Saat pertunjukan juga ada kesempatan bagi yang hadir untuk belajar memecahkan papan kayu. Mendengar tawaran tersebut, saya tawarkan pada kedua anak saya. Tetapi mereka tidak mau. Ya sudahlah saya tidak memaksa, saya hargai keputusan mereka.

Anak-anak yang mau belajar memecahkan papan sudah berjejer di tempat latihan. Kedua anak saya duduk di samping saya, tak tertarik. Tak lama ada pelatih mereka yang melihat kedua anak saya yang hanya duduk saja. Mr. White pun datang, jongkok di hadapan mereka dan mengajak mereka untuk turun ke lapangan. Ajaib! Mereka langsung mau.

Mulailah anak-anak berlatih melakukan pukulan. Pertama dengan kertas lalu dengan busa dan terakhir dengan kayu. Saat akan melakukan dengan kayu beneran, Mr Hayes berkata pada anak-anak tersebut.

”Yang kamu butuhkan untuk memecahkan papan kayu adalah believe in your self! Kalau kamu tidak percaya diri, kamu tidak akan bisa. Fokus, lihat ke papan dan pukul! Kamu pasti bisa.”

Anak-anak terlihat antusias dan semangat, termasuk peserta termuda usianya 4 tahun. Semua anak berhasil memecahkan papan kayu, termasuk kedua anak saya. Wow, kami bangga melihat mereka berhasil memecahkan papan tersebut. Mereka berhasil karena mereka yakin bisa memecahkan papan tersebut.

Hebatnya di ATA anak-anaknya begitu patuh dengan pelatihnya, kompak dan pada percaya diri. Salut dengan para pelatih yang bisa mengarahkan mengobarkan semanggat anak-anak tersebut. Papan-papan kayu anak tersebut kemudian dibawa pulang sebagai kenangan papan pertama yang dipatahkan. Juga di papan di tanda tangani oleh pelatih-pelatih mereka. Setelah itu acara puncak, memecahkan 100 papan dalam waktu 10 detik dan ternyata Mr Hayes dapat melakukannya dalam waktu 9,6 detik. Selamat Mr Hayes!

Setelah pulang dari pertunjukkan tersebut saya pun merenung. Saya bertanya pada diri sendiri. Apa yang sudah saya lakukan untuk menumbuhkan kepercayaan anak-anak saya pada diri mereka selama ini?

Padahal jika saya ingin mereka berprestasi dalam kehidupan mereka tugas pertama saya adalah membangun kepercayaan diri mereka. Tanpa kepercayaan diri mereka akan merasa tidak memiliki harapan dan merasa tak berdaya.

Sedangkan percaya diri akan tumbuh subur dan efektif jika anak merasa mampu. Dimana orang dewasa menghormati mereka dan menilai mereka sebagai seseorang yang berkuasa pada diri mereka sendiri. Caranya, dengan memberi mereka harapan pada masa depan mereka.

Sama seperti yang dilakukan Mr. Hayes memberi harapan kepada anak-anak tersebut dengan mengobarkan semanggat dan mengarahkan bagaimana caranya untuk sukses memecahkan papan kayu. Hasilnya anak-anak itu berhasil dengan penuh kebanggaan dalam jiwanya.

Bangun Rasa Percaya Dirinya

Rasa percaya diri anak akan tumbuh subur jika anak merasa berkuasa dan memiliki tanggungjawab pada dirinya. Anak bukan digunakan sebagai alat pemuasan keinginan orangtua sehingga segala sesuatunya diatur oleh orangtua. Bahkan anak tidak diberikan kebebasan dalam melakukan kegiatan sehari-hari sampai masa depan anak sendiri.

Untuk itu yang dapat dilakukan orangtua untuk membangun kepercayaan diri anak antara lain adalah:

Melihat anak sebagai pribadi yang unik dan menghargai setiap usaha anak. Tidak membandingkan seorang anak dengan saudara kandung atau kawan sebayanya. Melihat kelebihan anak dari pada kekurangan anak. Mendukung minat anak walaupun berbeda dengan keinginan kita sebagai orangtua. Kadangkala sebagai orangtua tanpa kita sadari kita telah membandingkan anak dengan saudaranya. “Kamu ini makan berantakan. Adik kamu bisa makan dengan rapi.” “Kakak kamu suka gambar. Masa kamu tidak tidak suka gambar.”
Realistis Terhadap Kemampuan Anak. Pelajarilah tumbuh kembang anak. Jangan mengharapkan anak melakukan sesuatu untuk meningkatkan gengsi Anda. Misalnya saja saat ini orangtua berlomba-lomba mengajarkan anaknya membaca sejak bayi. Orangtua bangga jika anaknya dapat membaca sejak dini. Padahal semua itu sebenarnya bukan untuk anak tetapi untuk memenuhi keinginan gengsi orangtua saja.
Berilah kebebasan pada anak untuk melakukan kesalahan alias biarkan anak belajar dari kesalahan tersebut. Ingatkan anak untuk tidak takut gagal. Ajarkan anak ketrampilan dalam memecahkan masalah agar mereka bisa terus berusaha. Daripada Anda memikirkan kesalahan anak lebih baik memusatkan pikiran bagaimana cara menyemangati anak.
Bangun kesuksesan. Ciptakan suasana untuk meminimalkan kegagalan. Misalnya dengan memerinci tugas ke dalam rentetan langkah mudah dan menceritakan mereka secara jelas dan singkat. Sediakan latihan. Beri anak kesempatan untuk berpartisipasi di bidang yang mereka kuasai.
Semangati anak. Lihat usaha yang sudah dilakukan anak, daripada kecewa dengan hasil yang dicapai oleh anak.
Hargai perasaaan anak. Ajarkan anak untuk menerima dan menghadapi perasaannya sendiri. Jika anak merasa kecewa dengan teman mainnya, dengarkan apa yang dirasakan anak, berikan tanggapan terhadap apa yang dirasakan anak.
Berikan ia pilihan. Anak tidak akan mengetahui pengertian kepemilikan dan tanggung jawab, jika orang lain selalu mengambil keputusan terhadap apa akan mereka melakukan. Untuk itu berikan pilihan sesuai umur anak, juga ijinkan mereka untuk mengadakan percobaan.
Berikan tanggungjawab dan ajarkan untuk bekerjasama. Beri kesempatan pada anak untuk menolong atau melakukan tugas di rumah. Hindari membantu anak melakukan sesuatu jika hal tersebut dapat dilakukan oleh anak sendiri. Misalnya, biarkan anak memakai sepatu sendiri walaupun Anda harus menunggu.
Bangun sense of humor. Tetapi jangan pernah sekali-kali mentertawakannya.

Meidya Derni, penulis buku “Jilbab Di Pelukan Uncle Sam” (Salamadani) dan “Princess Adila dan Karcis Sirkus” (DAR Mizan). Penulis tinggal di Amerika
Read More...

Penerimaan Murid Baru Tapel 2011 / 2012



KLIK GAMBAR UNTUK MEMPERBESAR
Read More...

Guestbook

Read More...

FOTO TES PSB Gel I

ini adalah foto tes psb gelombang I Tapel 2011/2012
lihat di sini
Read More...

INFO PSB TAPEL 2011 / 2012

INFO PENDAFATARAN
Inden : Agustus 2010 – Desember 2010
Gel I : Januari 2011 – Pebruari 2011
Gel II : Maret 2011 – April 2011
Gell III : Mei 2011 – Juni 2011
Nb. Pendaftaran ditutup bila quota 50 anak terpenuhi

BIAYA
1. Biaya Pendaftaran : Rp. 1 00.000,-
Infaq Pengembangan Pendidikan : Rp. 2000.000,-
2. Seragam 6 stel
Putra : Rp. 500.000,-
Putri : Rp. 550.000,-
3. Buku : Rp. 500.000,-
4. SPP
Pilihan I : Rp. 150.000,- / bln
Pilihan II : Rp. 100.000,- / bln
Pilihan III : Rp. 50.000,- / bln

5. Ekstra : Rp. 50.000,- /bln
6. Catering : Rp. 60.000,- / bln
DISKON
1. 75 % Infaq Pengembangan Pendidikan untuk pendaftar Inden
2. 30 % Infaq Pengembangan Pendidikan untuk gelombang pendataran I.
3. 20 % Infaq Pengembangan Pendidikan intuk gelombang pendaftaran II.
4. Diskon khusus bagi calon siswa yang memiliki saudara yang bersekolah di SD Integral Luqman Al Hakim.

Tempat Pendaftaran
Sekretariat SD Integral Luqman Al Hakim Bojonegoro
Jl. Lisman No 18 B Bojonegoro Telp. (0353) 7705344,
Cp. Minan (0353) 7724858, Rifa’i (0353) 7734884
Website : www.sdintegral.co.cc
Read More...

Video Kegiatan

Read More...
 
Copyright (c) 2010 SD Integral Luqman Al Hakim Bojonegoro
Jl. Lisman 18 B Bojonegoro Telp (0353) 7705344,888025, Email :sdintegral@yahoo.com